Objek wisata yang menjadi daya tarik wisatawan harusnya tetap memperhatikan kondisi lingkungan agar tidak menimbulkan bencana. (BP/istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pembangunan di Bali yang masif terutama di sektor pariwisata sejatinya telah menjadi persoalan sejak dulu. Dengan kejadian banjir bandang 10 September lalu menyadarkan banyak pihak jika Bali saat ini telah rusak. Sudah seharusnya kawasan hulu tidak dibangun kegiatan dan akomodasi pariwisata untuk penyelamatan di hilir.

Hal tersebut diungkapkan oleh pemerhati lingkungan Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini., M.Si., saat diwawancarai, Rabu (15/10). Dia mengatakan, sudah seharusnya tidak ada pembangunan di hulu. Terlebih dengan kondisi Bali saat ini yang luasan hutan hanya 23 persen dengan tutupan lahan 18 persen dari hutan. Idealnya luas hutan di setiap daerah itu mencapai 30 persen.

Ditambah lagi pohon-pohon besar yang ada di masyarakat saat ini banyak ditebang, sehingga keberadaannya kian sedikit. Padahal pohon-pohon ini mampu memenuhi tutupan lahan.

Baca juga:  Dukung Geliat Pariwisata Perdesaan, AP II Bangun Balkondes

Untuk keberlangsungan Bali dan pariwisatanya, kata Prof Kartini, penting untuk menjaga hulu dan hilir. “Hulu jangan dijadikan objek pariwisata, itu kan sudah jelas ada di Bisama Batur Kalawasan. Peliharalah hutan dan laut jangan mengambil ranah-ranah yang sangat berpotensi bencana. Dengan membangun di sana akan menimbulkan bencana. Misalnya membangun di pingir danau, ketika air danau meluap bukan danau yang salah, tapi kita yang membangun karena 50 meter dari danau itu harusya pepohonan,” ungkap Guru Besar Bidang Pertanian Organik Universitas Udayana ini.

Dia mengatakan, banjir yang terjadi menjadikan momentum yang mampu membuat masyarakat mulai sadar akan penyelamatan lingkungan saat ini. Menjaga lingkungan, kata dia, merupakan tugas semua kalangan baik itu masyarakat, pemerintah hingga stakeholder terkait.

Baca juga:  Objek Wisata Karang Sewu Mulai Digerus Abrasi

Paling penting, kata dia, aturan harus ditegakan dan penegakan peraturan tersebut tidak tebang pilih. Dengan itu masyarakat dan semua pihak jadi merasa nyaman, tidak ketakutan akan terjadinya bencana. “Kemarin itu kita sudah melihat begitu hujan sudah takut. Meski kerugian bencana itu hanya Rp100 miliar, tapi trauma kerusakan pura, upacara dan lain-lain tidak bisa dihitung,” imbuhnya.

Sementara itu, pengamat pariwisata Prof. Dr. I Putu Anom, B,Sc.,M.Par., mengatakan, berkembangnya pariwisata berdampak pada kepadatan penduduk serta kebutuhan lahan tinggi terutama di Bali Selatan. Drainase dan tata ruang pun banyak dilanggar.
Hal serupa, kata dia, juga terjadi di hulu. Sekitar sungai makin banyak dipenuhi bangunan terutama hotel dan vila hingga glamping yang kian marak. Pohon banyak di tebang yang membuat hutan menjadi gundul. Intensitas hujan yang tinggi akan memberi dampak pada pembangunan yang tak terbendung ini dan terjadilah fenomena banjir bandang yang menelan korban hingga kerugian materi.

Baca juga:  Indonesia Kena Tarif AS 32 Persen, Ekspor Unggulan Bali Ikut Terdampak

“Jika kita lihat banjir juga terjadi di Jembrana yang notabena penduduk tidak banyak. Ini karena di hulu hutan banyak di tebang. Apalagi di Denpasar dan Badung dampak yang dirasakan pasti luar biasa,” ujarnya.

Pembangunan harus dihentikan terutama akomodasi parwisata kini banyak yang dibangun di bantaran sungai. Termasuk di kawasan Ubud dan sekitarnya ke utara. Banyak akomodasi pariwisata yang memanfaatkan tebing. (Widi Astuti/balipost)

 

BAGIKAN