
NEGARA, BALIPOST.com – Kabupaten Jembrana merupakan satu-satunya daerah di Bali yang daratannya didominasi hutan. Hampir 70 persen luas daratan tertutupi tumbuhan. Adapun total luas hutan mencapai 37.182 hektare, terutama di sisi utara (hulu), dengan kawasan inti (hutan lindung) seluas 21 ribu hektare.
Sejak 2015 lalu, pola pengawasan dan pengelolaan melibatkan rakyat (perhutanan sosial) yang merupakan penyanding hutan atau desa sekitar hutan. Hingga kini, sudah ada 35 kelompok rakyat dari 29 penyanding desa yang diberikan pengelolaan khusus di blok pemanfaatan untuk memaksimalkan luas cakupan tutupan hutan.
Kepala UPTD KPH Bali Barat, Agus Sugianto mengatakan, dari luas cakupan 37 ribu hektare hutan lindung yang menjadi kewenangan provinsi, terbagi menjadi tiga blok. Blok inti seluas 21 hektar, blok khusus sebanyak 32 pura, serta blok pemanfaatan seluas 12.000 hektare di kawasan hutan lindung dan 3.000 hektare di hutan produksi. Blok inti merupakan kawasan hutan yang wajib terjaga tutupan hutan dengan pohon-pohon alami hutan. Sementara, blok pemanfaatan, diberikan kewenangan untuk kelompok masyarakat penyanding untuk ikut menjaga dan menanam pohon keras (tanam tuwuh) yang bermanfaat bagi kesejahteraan seperti kakao, kopi, pala dan lain-lain.
“Saat ini sudah ada 35 kelompok, dari Penginuman, Gunung Klatakan, hingga Gunung Batas. Ada 29 desa penyanding, namun di beberapa desa ada yang kelompok masyarakatnya lebih dari satu. Tanaman yang ditanam diatur terutama tanam tuwuh (sekali tanam bermanfaat lama) dan wajib menjaga pohon-pohon hutan baik yang di blok pemanfaatan maupun di blok inti yang tidak boleh ditanami,” kata Agus, Jumat (3/10).
Blok pemanfaatan dengan luas belasan hektare ini sebelumnya merupakan kawasan rawan perambahan sebelum diterapkan program hutan kerakyatan. Namun, setelah diterapkannya pola tersebut, forest coverage (tutupan hutan) berangsur pulih. “Upaya pemulihan hutan yang lestari menyejahterakan, dengan tanaman jenis tanam tuwuh, golnya adalah tutupan hutan dan diimbangi juga dengan kesejahteraan masyarakat. Di awal merintis agak susah mengubah kebiasaan menanam tanam tuwuh ini, tapi sekarang sudah mulai menyadari,” tambahnya.
Lebih dari 10 tahun diterapkannya pola hutan rakyat tersebut, masyarakat penyanding mulai merasakan dampaknya. Bahkan, memberikan hasil pendapatan untuk negara (penerimaan negara bukan pajak). PNBP kawasan hutan ini dibayarkan setiap kelompok dari hasil bumi yang dikelola.
Salah satu kelompok masyarakat yang mendapatkan izin kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) ada di Banjar Tibu Beleng Kaler, Desa Penyaringan, Kecamatan Mendoyo. KUPS Giri Mekar Sari yang memiliki anggota 121 KK, tahun ini telah merasakan hasil panen dari jenis tanam tuwuh tersebut. “Kopi yang paling tahan, termasuk durian, manggis, dan alpukat. Hasilnya lumayan, sudah berbuah. Memang agak sulit awalnya mengubah dari ngawen ke pola kelompok ini,” kata Ketua KUPS Giri Mekar Sari, I Putu Widana.
Tahun ini, meski baru beberapa pohon yang sudah panen, KUPS Giri Mekar Sari dapat menyumbang PNBP sebesar Rp6,2 juta. Widana mengaku, kelompoknya paling terakhir bergabung. Dulu mereka menerapkan pengawenan (pola perambahan berkebun), kini berubah jadi pola tanam tuwuh. Bibit yang diperoleh warga juga beragam. Dari bantuan perguruan tinggi, swasta, dan membeli sendiri.
Masyarakat berangsur menyadari menanam tanaman keras bukan hanya untuk kepentingan sesaat tetapi keberlanjutannya hutan lestari terutama dalam fungsi ketersediaan oksigen. Kelompok ini saat ini juga mendapatkan pendampingan organisasi yang bergerak pelestarian alam, salah satunya inventarisasi pohon-pohon yang ditanam.
“Pohon-pohon di wilayah pengelolaan kami di-tagging (ditandai) dan dapat dilihat melalui aplikasi. Baik jenis, ukuran diameter, dan siapa yang bertanggung jawab (nama anggota), tiap titik lokasi dapat dilihat dari GPS,” katanya.
Dengan tag, masing-masing anggota mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memelihara. Pola ini menurutnya sangat efektif dan memberi semangat bagi warga untuk keberlanjutan tanaman. Sebagian besar anggota kelompok telah menyadari, tanaman-tanaman keras ini bukan hanya memberikan manfaat kesejahteraan dari hasil bumi, tetapi juga melalui inventarisasi tanaman juga berkontribusi mengurangi emisi karbon, di Bali pada khususnya. (Surya Dharma/balipost)