
DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah Provinsi Bali bersama instansi teknis mulai menyiapkan strategi antisipasi menghadapi musim hujan Oktober hingga Desember, pascabanjir bandang 10 September yang menimbulkan kerusakan besar dan trauma mendalam.
Sejumlah langkah dipetakan, mulai dari sistem peringatan dini, pengerukan sungai, penghijauan daerah aliran sungai (DAS), hingga penegakan tata ruang yang lebih ketat.
Dalam rapat koordinasi lintas instansi yang digelar DPRD Bali, Rabu (1/10) pagi bersama sejumlah instansi terkait, Kepala BPBD Bali, I Gede Agung Teja Bhusana Yadnya, menerangkan banjir besar September lalu dipicu curah hujan ekstrem.
“Itu terjadi di 20 titik di bagian selatan. Curah hujan ini rekor terbaru dari sejarah Bali,” ujarnya.
Selain hujan, faktor lain adalah gelombang pasang akibat bulan purnama, sedimentasi sungai, penutupan lahan, serta tata ruang sempadan sungai yang tidak sehat.
Data BPBD Bali mencatat, banjir pada 10 September lalu melanda di sembilan kabupaten/kota di Bali dengan 159 desa/kelurahan terdampak.
Kerusakan yang ditimbulkan meliputi 856 rumah, 133 sarana perekonomian, 88 tempat ibadah, 20 fasilitas umum, 116 jalan, 12 jembatan, 16 jaringan sumber daya air, 24 satuan pendidikan, satu fasilitas kesehatan, dan tiga prasarana lingkungan.
Banjir juga menimbulkan 18 korban jiwa dengan empat orang hilang, satu orang luka berat, serta ribuan warga mengungsi. “Jumlah pengungsi terbanyak tercatat pada 11 September sebanyak 812 orang,” sebutnya.
Banjir dipicu oleh curah hujan ekstrem di wilayah Bali, dengan data BMKG Wilayah III menunjukkan intensitas mencapai 390 milimeter per hari di daerah tangkapan air Daerah Alisan Sungai (DAS) Ayung.
Kondisi ini diperburuk dengan pasang laut maksimum 2,61 meter di perairan Benoa pada 9 September dan surut terendah 0,24 meter pada 10 September pagi, yang berkontribusi pada meluapnya air di wilayah pesisir.
Analisis BPBD menyoroti kerentanan akibat perubahan tata ruang dan kerusakan lingkungan. “DAS Ayung mengalami alih fungsi lahan sebesar 456,36 hektare dalam kurun 2015–2024, dengan penambahan pemukiman 253,42 hektare, pertanian lahan kering 149,13 hektare, dan lahan terbuka 31,89 hektare,” terangnya.
Tutupan hutan di kawasan ini kini hanya tersisa 1.539 hektare atau 3,11 persen, jauh di bawah kebutuhan ekologis minimal 30 persen atau sekitar 14.856 hektare. Kondisi kritis ini menyebabkan daya resap air di hulu berkurang drastis, mempercepat limpasan permukaan, dan memperparah banjir di hilir.
Di sisi lain, kerusakan sempadan sungai semakin memperburuk situasi. Data Dinas Pekerjaan Umum (PU) Denpasar menyebut timbulan sampah di sungai-sungai mencapai 25 ton per hari, sementara drainase tidak berfungsi optimal. Sedimentasi, pembangunan di sempadan, dan pengurangan kapasitas sungai semakin meningkatkan risiko banjir.
Sejumlah daerah aliran sungai yang terdampak meliputi DAS Ayung, DAS Badung, DAS Mati, DAS Yeh Poh, DAS Singapadu, DAS Loloan, DAS Biluk Poh, DAS Tanah Ampo, DAS Tetengan, DAS Alap, DAS Cicing, dan DAS Labuan. Kondisi ini menunjukkan bahwa banjir di Bali bersifat lintas wilayah dan membutuhkan penanganan terpadu.
Ke depan, Teja mengagendakan mitigasi ke depan mencakup penanganan secara struktural dan non-struktural.
Mitigasi struktural meliputi normalisasi sungai, pembangunan tanggul, reboisasi, penataan sempadan, pembuatan sodetan, biopori, pengelolaan sampah, dan pembangunan sistem peringatan dini. Sedangkan mitigasi non-struktural mencakup pembaruan regulasi, penegakan hukum, sosialisasi, dan edukasi masyarakat. (Ketut Winata/balipost)