
DENPASAR, BALIPOST.com – Perda Provinsi Bali Nomor 11 Tahun 2017 tentang Bendega telah lama lahir namum hingga saat ini belum diimplementasikan. Bahkan di Denpasar belum ada satupun Sekaa Bendega yang dibentuk dan disahkan dengan Surat Keputusan (SK)
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, I Nengah Manumuditha, Kamis (25/9), mengatakan, para bendega atau nelayan telah dilindungi oleh Perda Bendega untuk menangkal permasalahan yang selama ini dialami yaitu diusir, ditekan dan dipindah. Namun, dari 2017 sampai sekarang, amanat Perda tidak dilaksanakan.
“Belum, padahal 8 tahun. Ini dampaknya sekarang terlihat. Di perda, tugas sudah jelas dengan pembentukan bendega di kabupaten/kota. Tapi Sekaa Bendega (lembaga) belum juga dibentuk. Seperti di Serangan belum juga dibikin Sekaa Bendega,” ujarnya.
Padahal dengan dibentuknya lembaga nelayan itu, dapat bekerjasama atau berkolaborasi dengan pemerintah melakukan tugas-tugas di hilir seperti menjaga mangrove, pantai, pengelolaan hilir termasuk penguatan pangan dari perikanan dan kelautan. “Konsekuensi Perda Bendega, selain memperkuat pangan juga nilai budaya, ekonomi dan adat istiadat,” terangnya.
Selain itu, hak bagi sekaa nelayan juga bisa didapatkan seperti hibah. Padahal di Bali lembaga adat seperti desa adat dan subak, bahkan subak abian diakui dan mendapat hak untuk pengembangan sektornya. “Tapi bendega tidak dapat dan bahkan belum dibentuk,” tandasnya.
Dengan sumber pendanaan dari pemerintah pusat, pemprov, pemerintah kabupaten/kota, nelayan atau bendega, bahkan telah memiliki zonasi yang jelas. Misalnya dengan menggunakan patokan pangkalan nelayan dan menetapkan luas jangkauannya seperti subak. “Tapi sekarang kami berjuang batas-batasnya. Serangan dengan potensi luas wilayah 32 ha, seharusnya bisa dimanfaatkan nelayan untuk mengoptimalkan jukung, perahu bekerjasama dengan pihak ketiga, atau mengembangkan potensi budidaya,” bebernya.
Menurutnya, nelayan di Bali paling kaya karena memiliki pantai yang indah dan luas. Namun belum dikelola dengan baik sehingga nelayannya paling miskin. “Seperti di Serangan sudah ada Pura Segara, ada kelompok nelayan, ada aktivitas budidaya, perikanan tangkap, dan sudah terdata, tinggal disahkan saja bendega itu oleh wali kota,” ungkapnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Denpasar, Raka Purwantara mengatakan, ada empat pilar sabha upadesa yang terdiri dari bendesa, forum perbekel desa/lurah, pekaseh (subak), dan bendega. Keempat pilar tersebut perlu memperkuat fungsi koordinasi dan pengawasan di Pemkot Denpasar. Berkaca dari bencana banjir yang dialami kemarin, diakui ada karena keterlambatan dalam mengantisipasi dan malfungsi palemahan yang sudah bergeser dari yang seharusnya.
“Contohnya ada lahan sawah yang dilindungi (LSD), namun justru berkurang secara masif karena kurangnya pengawasan. Begitu juga sungai-sungai yang mestinya dilindungi sebagai sumber air permukaan, ternyata sekarang menjadi tempat pembuangan sampah,” ujarnya.
Ada juga bantaran sungai dan muara sungai yang ujungnya mengalir ke laut juga mengalami malfungsi. “Seperti muara hutan bakau di Sidakarya telah berdiri gudang yang dikelola warga negara Rusia. Kenapa hal itu bisa terjadi, itu karena kita komponen masyarakat lalai melakukan fungsi koordinasi dan pengawasan,” ujarnya.
Peran bendega, pekaseh, bendesa, perbekel diharapkan melakukan fungsi koordinasi dan pengawasan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di wilayahnya. “Jika hal itu terjadi, kemana seharusnya melapor seperti peran pekaseh, adanya alih fungsi lahan 1 ha LSD menjadi perumahan di Jalan Sedap Malam. Artinya pekaseh tidak memiliki kewenanganan menindak, namun bisa berkoordinasi dengan pemerintah,” bebernya.
Peran bendega juga diharapkan demikian. Misalnya ada pelanggaran sempadan pantai, penggunaan fungsi areal publik yang tidak semestinya, agar dapat berkoordinasi dengan pemerintah untuk mencegah pelanggaran. (Citta Maya/balipost)