
DENPASAR, BALIPOST.com – Rare Angon Festival akan kembali digelar untuk kedua kalinya pada 31 Juli hingga 3 Agustus 2025.
Sbanyak 100 peserta internasional dari 23 negara siap mengikuti kegiatan ini. Diperkirakan peserta internasional akan membawa 300 layang-layang.
Sedangkan peserta lokal juga membawa ribuan layang-layang tradisional.
Tahun ini, peminat festival mengalami peningkatan, baik dari luar maupun dalam negeri. Terlihat dari jumlah peserta dan negara yang mendaftar, lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Festival yang masih tergolong muda ini telah memberi kontribusi bagi kualitas pariwisata Denpasar. Pasalnya lewat festival ini, dapat menjaring wisatawan minat khusus.
Ketua Panitia Gede Eka Surya Wirawan, Selasa (29/7), mengatakan Rare Angon Festival menggelar sejumlah lomba.
Terdapat lomba pindekan dan sunari, baleganjur malayangan, dan kober layangan. Khusus untuk lomba layang-layang tradisional, ada sejumlah kategori, yakni bebean, janggan, janggan buntut, pecukan, kreasi baru, janggan merak, kedis kandik, dan celepuk.
Festival tahunan yang memadukan seni, budaya, aerodinamika, serta filosofi tradisional ini telah mengundang perwakilan dari 30 negara.
Surya demikian ia akrab disapa menuturkan, latar belakang festival yanv kedua kalinya ini untuk membuat event pra Denfest sesuai arahan Wali Kota Denpasar, IGN Jaya Negara.

Pada dasarnya, sesuai dengan namanya, Rare Angon Festival adalah festivalnya para rare angon (penggembala), seperti penabuh baleganjur, pemain layangan, dan pemain sunari. Sunari juga menjadi materi yang dilombakan mengingat sunari adalah sarana upakara di Bali dan belakangan mulai hilang.
Maka dari itu ia berinisiatif melombakan sunari sebagai upaya melestarikan tradisi. “Banyak yang mulai susah mencari sunari untuk upacara. Kalau pindekan masih oke lah,” ujarnya.
Bagi dunia internasional, Bali adalah barometer layang-layang dunia. Menurutnya Bali menjadi barometer karena di dunia belum ada yang masyarakatnya terlibat penuh dalam bermain layang-layang. “Kalau dulu kan banjar bermain layangan, sedangkan mereka di luar negeri, paling dua orang yang bermain. Kalau kita, kan bisa melibatkan puluhan warga banjar untuk bermain, itu yang membuat mereka heran.Maka layang-layang seharusnya memang dimainkan bersama-sama,” ujarnya.
Tahun lalu festival Rare Angon diisi dengan workshop pembuatan tapel layangan. Sedangkan tahun ini pada hari kedua saat pembukaan akan ada pertunjukan wayang udara yaitu pertunjukan layang-layang berbentuk tokoh wayang berukuran 3-5 meter. Layang-layang tersebut berupa tokoh punakawan, sangut, delem, mredah, tualen, Dewa Siwa, raja. “Itu dikemas menjadi sebuah pertunjukan diiringi oleh gamelan dan dalang,” imbuhnya.
Jadwal Festival Rare Angon
Ada pun jadwalnya, pada 31 Juli dan 1 Agustus, dilaksanakan festival layang-layang internasional yang diikuti 100 orang dengan 300 layang-layang. “Kalau internasional fokus festival bukan kompetisi jadi khusus untuk hiburan dan edukasi,” imbuhnya.
Pada 31 Juli selain festival layangan internasional dari pukul 10.00, pada pukul 16.00-18.00 juga ada penampilan musik.
Pada 1 Agustus pukul 17.00 dilakukan upacara pembukaan. Selanjutnya diisi dengan pertunjukan wayang udara, penampilan musik yang mengiringi night flying.
Pada 2-3 Agustus diadakan lomba layang-layang tradisional yang diikuti peserta lokal dimulai pukul 10.00 sampai 18.00. Di samping juga pada tanggal ini, peserta internasional bermain namun digelar di Muntig Siokan.
Penilaian Kompetisi Lokal
Penilaian kompetisi lokal tidak hanya menilai aspek layang- layang namun juga aspek permainan diantaranya, keseimbangan layangan (abah layangan).
Menurutnya, cara bermain layang- layang sama halnya dengan menarikan layangan tersebut. “Ada elog, egol, dan setelah nanjek baru balik lagi seperti nyeledet. Juri pasti sudah tahu gerakan layang- layang itu,” jelasnya sambil menyebut nama salah satu juri merupakan artis layang – layang internasional, I Kadek Dwi Armika.
Selain itu juga dinilai guwangannya (bunyi dari layang – layang) dan penilaian kepatuhan regulasi layang- layang seperti ukuran.
Pada pembukaan di malam hari juga diisi dengan terbang malam. Nantinya, layang-layang dilengkapi lampu. Menurutnya penerbangan layang-layang malam hari sudah berkoordinasi dengan pihak terkait demi keamanan bersama.
Rare Angon Festival kali ini tak hanya bermain layang-layang tapi juga ada hiburan, gelaran budaya berupa baleganjur.
Filosofi Rare Angon
Ia menuturkan filosofi Rare Angon menurut Hindu Bali dipercaya sebagai Ganesha, anak dari Dewa Siwa. Ganesha menjelma menjadi anak kecil penggembala. Penggembala ini diterjemahkan dalam berbagai kegiatan anak- anak yang mana identik dengan bermain di sawah. Layangan dulu berfungsi untuk mengusir hama, burung dan dipakai memancing.

“Bahkan tetua kita dulu mempersembahkan layangan tradisional untuk menyambut kehadiran Gubernur Belanda ketika mengunjungi salah satu desa,” tuturnya.
Namun belakangan, layang-layang kerap menjadi kambing hitam penyebab kecelakaan dan mengganggu utilitas jaringan listrik. Ia pun tak menampik hal itu. Perubahan jaman yang terjadi membuat rare angon tak memiliki pilihan, tempat bermain khususnya layangan.
Ketiadaan tempat bermain layang-layang pun terlihat jelas dari bergesernya tempat festival layang- layang dari Pantai Padang Galak ke Pantai Mertasari. Mengingat di Pantai Padang Galak kini telah banyak dibangun vila dan ada pelabuhan, maka tempat bermain layangan pun tergeser. Pun sawah yang menjadi tempat para rare angon bermain, kini telah hilang.
“Kalau tempat bermainnya ada, maka tidak akan ada layang- layang yang membuat kecelakaan, mengganggu jaringan listrik,” ujarnya.
Kondisi ini membuat semua rare angon dan komunitas menjerit. “Jika rare angon tak boleh bermain dimana, maka tolong berikan kami tempat, hanya untuk bermain layang- layang, untuk menjaga tradisi yang unik ini,” ungkapnya.
Dengan fenomena itu, tema Rare Angon Festival tahun ini adalah “Menjaga dan Merawat Tradisi.”
Meski Rare Angon Festival baru digelar dua kali namun sejak puluhan tahun, festival layang- layang telah digelar di Bali. Diinisiasi Pelangi Bali, festival layang- layang dimulai sekitar tahun 1980-an.
“Kalau dulu setelah PKB, pasti dilanjutkan dengan festival layang- layang Pelangi Bali karena masuk giat Dinas Kebudayaan. Dulu awalnya di Lapangan Pegok, pindah ke Kapten Japa dan pindah ke Padang Galak,” tuturnya. (Citta Maya/balipost)