
DENPASAR, BALIPOST.com – Rare Angon Festival ditutup dengan kompetisi layangan tradisional yang berlangsung menegangkan pada Minggu (3/8).
Besarnya layangan tradisional Bali yang dilombakan membuat jumlah pelayang yang menerbangkan mencapai belasan bahkan puluhan. Satu orang bertindak sebagai koordinator yang mengkondisikan antara hulu dan hilir tali.
Bukan bentuk dan ukuran layangan yang menarik perhatian, namun proses tarik ulur agar layangan menari yang membuat penonton riuh.
Bahkan ada beberapa layangan yang jatuh, tersangkut hingga terlilit satu sama lain.
Salah satu komunitas layangan Salikur Team, jatuh bangun menarik tali layangan, bahkan nyebur ke pantai untuk mengendalikannya.
Arsitek layang-layang dari Salikur (21) Jaya Team, Ubung, Denpasar I Wayan Ari Okta Piarsa Putra mengatakan, membawa beberapa layangan dan mengikuti beberapa jatehoru lomba diantaranya layangan dewasa bebean, big size bebean, dan janggan buntut.
Untuk menerbangkan layangan tersebut diperlukan belasan orang untuk menarik tali dan memegang layangan. Tim yang terlibat dari usia belasan tahun hingga puluhan tahun. Bahkan ada yang 14 tahun.
Dengan banyaknya peserta yang bermain di satu sesi, maka ada pemain yang menarik hingga ke air. Hal itu karen dengan ukuran layangan yang besar, tali yang panjang demi menjaga jarak dengan layangan lainnya, maka dalam kondisi itu, pemain harus terjun ke air.
“Bermain layangan itu seru, karena kita harus saling berkoordinasi untuk menarik tali agar dapat menarikan layangan dengan indah,” ujarnya.
Selain menjalankan hobi, keikutsertaannya dalam kompetisi layangan tradisional ini juga menjadi wujud kecintaan terhadap layangan tradisional Bali. Ia sendiri sejak awal mendesain layangan, berpijak pada
pakem – pakem yang ada.
“Ukuran layangan kami dari 3 meter sampai 7 meter. Dari 6-7 meter termasuk kategori big size, dari 3 – 5 meter masuk kategori remaja dan dewasa,” ujarnya.
Meski untuk menjalankan hobi namun budget yang dikeluarkan untuk membuat layangan, tidak main-main. “Untuk layangan remaja modalnya sekitaran Rp4 juta, layangan dewasa sekitar Rp8 juta, big size dengan ukuran 6 meter sekitaran Rp16 juta dan ukuran 7 meter sekitar Rp22 juta,” bebernya.
Steering Committe Rare Angon Festival Kadek Dwi Armika sebelumnya mengatakan, budaya bermain layang- layang saat Juni- Juli di Bali berpedoman pada akar budaya yang cukup kuat karena aktivitas ini sekaligus upaya menjaga dan merawat tradisi layang-layang.
Layang – layang di Bali diterbangkan dengan kebersamaan, puluhan orang. “Itu merupakan wujud integritas yang mana teknik dan konstruksi budaya layang-layang kita di Bali itu merupakan suatu yang sangat dikagumi untuk disimak, disajikan dan dipelajari pelayang internasional,” ungkapnya.
Maka penilaian layangan tradisional Bali berpijak pada nilai rasa gerakan layangan, bukan pada bentuk atau desainnya. “Layangan tradisional ada agem, elog, abah, layangan itu punya karakter tarian. Disanalah keunikan layangan Bali itu, bukan karena bentuknya tapi juga sentuhan rasa, suara guwang lanang -wadonnya yang harus saling mendukung dan bersahutan, terus agem, igel, elognya harus bisa muncul dalam kompetisi itu,” ujarnya.
Layangan Bali kini telah berkembang dengan sistem knock down, bisa bongkar pasang tanpa mengurangi nilai tradisionalnya. Dengan demikian demi menjaga tradisi, kompetisi layangan tradisional tidak boleh diganggu dengan sentuhan teknologi. “Yang namanya tradisi, bahan, bentuk tetap tradisional. Ketika dia bergeser dan berkembang, maka dia mengarah ke kreasi kontemporer,” tandasnya.
Sehingga saat kompetisi layangan yang diharapkan adalah tradisional dan sesuai pakem Bali. (Citta Maya/balipost)