
AMLAPURA, BALIPOST.com – Desa Adat Bugbug, Kecamatan/Kabupaten Karangasem memiliki banyak tradisi yang hingga saat ini masih dilestarikan dan dilaksnakan oleh warga setempat. Belum lama ini Desa Adat Bugbug melaksanakan upacara Usaba Manggung.
Upacara ini dilaksanakan berkaitan dengan kesuburan, pertanian, serta penghormatan kepada Dewi Sri sebagai simbol kemakmuran dan kehidupan.
Kelian Desa Adat Bugbug, I Nyoman Purwa Ngurah Arsana mengungkapkan, puncak pelaksanaan upacara Usaba Manggung tahun ini berlangsung selama tiga hari. Diawali dengan aci pabantenan yang dimulai, Kamis, (10/7) dan akan berakhir pada Sabtu, (12/7). Esok harinya, Minggu (13/7), dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara di Pura Candidasa.
“Upacara di Pura Candidasa masih merupakan bagian dari rangkaian Usaba Manggung. Pura ini sangat erat kaitannya dengan pertanian dan kesuburan. Di hadapan pura terdapat telaga suci Candidasa yang diyakini sebagai sumber air kehidupan dan anugerah kesuburan bagi masyarakat Bugbug,” ujarnya.
Purwa Arsana mengatakan, salah satu puncak dari upacara ini adalah prosesi Wong-wongan Yamaraja, sebuah ritual suci yang sarat makna dan simbolisme. Wong-wongan atau gambaran figur manusia dengan perwujudan tinggi besar menggambarkan Ki Taruna Bali Mula yang membantu masyarakat Desa Adat Bugbug menimbun genangan air yang berwarna biru yang disebut Telaga Ngembeng untuk dijadikan pemukiman.
“Wong-wongan Yamaraja ini dilukis menggunakan kapur atau pamor yang telah disucikan, dilukis di pelataran Pura Bale Agung. Ia bukan sekadar simbol, namun dipercaya sebagai perwujudan energi suci pelindung yang menghadirkan keseimbangan alam, kesuburan, serta penolak berbagai unsur negatif,” katanya.
Menurut Purwa Arsana, untuk prosesi ini diawali dengan kedatangan para Daha Rejang desa yang berangkat dari Pura Segara, mengiringi perjalan suci Ida Bhatara Bhatari yang masucian di laut, menyucikan diri sebagai bagian dari siklus ritus agung. Dengan gemulai penuh hormat dan kesadaran akan kesuciannya, para Rejang ini menari dalam alunan sakral gamelan Salonding, Gambang, dan Gong Desa, mengiringi kembalinya Ida Bhatara Bhatari menuju Pura Bale Agung.
Sesampainya di Pura Bale Agung, prosesi dilanjutkan dengan tarian mengelilingi Wong-wongan Yamaraja sebanyak sebelas kali, sebuah angka simbolik yang mencerminkan keharmonisan kosmis antara manusia, alam, dan roh leluhur. Suara gamelan sakral menyatu dengan langkah para penari, menciptakan suasana yang magis, menghubungkan dimensi niskala dan sekala.
“Setelah prosesi mengelilingi selesai, seluruh masyarakat desa bersama-sama melaksanakan persembahyangan bersama di hadapan Wong-wongan Yamaraja. Dalam suasana penuh kekhusyukan, umat memanjatkan doa-doa keselamatan, kesejahteraan, dan hasil panen yang melimpah,” jelasnya.
Dia menjelaskan, sebagai bentuk bhakti dan keyakinan mendalam, masyarakat akan memohon sedikit pamor atau serbuk kapur yang digunakan untuk menggambar Wong-wongan Yamaraja. Pamor atau serbuk kapur yang dipergunakan melukis atau menggambar Wong-wongan Yamaraja ini diyakini memiliki kekuatan spiritual yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit serta menjauhkan diri dari gangguan unsur negatif dalam kehidupan. Ia menjadi simbol anugerah dan perlindungan dari Ida Bhatara Bhatari yang beristana di Desa Adat Bugbug.
“Dengan prosesi ini, masyarakat tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga merawat hubungan spiritual mereka dengan alam dan para dewa, menjadikan Usaba Manggung sebagai wujud nyata harmoni antara manusia dan semesta dalam balutan adat dan budaya Bali yang luhur,” imbuh Purwa Arsana. (Eka Parananda/balipost)