Ilustrasi produksi AMDK di bawah 1 liter. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pelarangan produksi dan peredaran AMDK di bawah 1 liter yang tertuang dalam surat edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 berpotensi menurunkan omzet sejumlah produsen AMDK di Bali dan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Hal ini diungkapkan dua pemimpin perusahaan AMDK yang berpusat di Bali, Nyoman Arta Widnyana dan I Gde Wiradhitya.

Menurut Arta, pelarangan ini sudah pasti akan menyebabkan produsen AMDK mengalami penurunan omzet yang sangat drastis. “Tidak hanya kami, semua usaha AMDK juga pasti akan mengalami nasib serupa. Ini kan bisa mengganggu perekonomian nasional juga,” sebutnya.

Menurutnya, dengan penurunan omzet yang sangat besar, tidak tertutup kemungkinan akan berdampak kepada para karyawan di perusahaan yang saat ini jumlahnya 54 orang. Itu belum termasuk distributor dan warung-warung yang menjadi rekanan perusahaan.

Baca juga:  Pawai PKB, Ini Jalan yang Ditutup dan Dialihkan

“Kita akan tetap berusaha. Tapi, untuk mengubah pangsa pasar dari cup dan botol ke kemasan satu liter itu kan tidak mudah, butuh waktu lama untuk menggarap pasarnya. Sementara, karyawan harus dibayar setiap bulannya. Bisa bertahan saja sudah syukur. Apalagi di tengah persaingan ketat di industri AMDK saat ini, ditambah lagi kondisi ekonomi perekonomian yang belum membaik saat ini,” keluhnya.

Kondisi sama juga diakui Wiradhitya. Ia menilai bahwa SE gubernur Bali terlalu parsial karena hanya menyasar AMDK. Padahal, sampah plastik di Bali tidak hanya berasal dari botol AMDK, tetapi dari kemasan minyak goreng, gula, kopi hingga permen.

Baca juga:  COVID-19 Mewabah, Tindak Pidana Ini Alami Peningkatan

Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) mengungkapkan ada 18 produsen AMDK yang beroperasi di Bali, baik skala lokal maupun nasional. Dari data itu, ia mengungkapkan, akan ada sejumlah usaha yang terancam bangkrut lantaran tidak bisa melanjutkan produksi karena pelarangan tersebut.

“Dari 18 yang terdaftar, ada 16 yang bergantung di bawah satu liter. 16 (perusahaan) kali 90 (karyawan) paling tidak ya, itu pun di satu pabrik cuma satu shift,” ungkap Wiradhitya.

Ia pun mengaku khawatir akan dampak lanjutannya. “Kalau pak Gubernur mau menerapkan ini secara ketat, kami khawatir dari 18 pabrik itu, cuma 2 pabrik yang akan bertahan,” kata I Gde Wiradhitya.

Ia mengalkulasi bakal ada 1.000 PHK lebih yang bakal terjadi di Bali akibat pelarangan tersebut.

Baca juga:  Pelestarian Lingkungan, AMDK Lakukan Inovasi Kemasan dan Optimalisasi Pengelolaan Sampah Plastik

AMDK-AMDK ini merupakan produsen yang berbasis dan menyerap tenaga kerja lokal. Pelarangan produksi dan distribusi akan berujung pada PHK para pegawai dari pabrik-pabrik produsen air kemasan tersebut. Belum lagi, toko ritel kecil yang mengaku produk terlaris mereka adalah air kemasan di bawah 1 liter.

Mengutip data Sungai Watch terkait sampah di Bali dan Banyuwangi, limbah air kemasan botol PET hanya 4,4 persen. Sampah lainnya, kemasan sachet 5,5 persen, kantong plastik 15,2 persen dan plastik bening 16,2 persen. Berdasarkan jenis produk, sampah di Bali juga berasal dari tetra pak (19.254 item), kemasan cup minuman berperisa (17.274 item) dan hard plastik (17.207 item). (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN