Sampah botol plastik dikumpulkan di salah satu lokasi daur ulang. (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Berbagai pola pengelolaan sampah telah dilakukan. Diantaranya dengan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST), Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R), bank sampah hingga incenerator.

Masing- masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Meski demikian, satu hal yang pasti adalah pengelolaan sampah tidak bisa dilakukan dengan pendekatan tunggal namun perlu upaya kolektif dengan berbagai pendekatan.

Kepala UPTD Pengelolaan Sampah Dinaa Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali Ni Made Armadi saat workshop Bali Bebas Sampah, Sabtu (26/7) mengatakan, Bali memproduksi sampah 3.436 ton per hari. Terbanyak di Denpasar sebanyak 1.005 ton per hari, kedua Gianyar 562 ton per hari, Badung 547 ton per hari sedangkan Buleleng 413 ton per hari.

Tak heran Denpasar memproduksi sampah terbanyak karena merupakan pusat perekonomian dan menampung jumlah penduduk paling banyak. Jika ditelisik lebih dalam, 60 persen sampah tersebut berasal dari rumah tangga. Maka dari itu rumah tangga menjadi pusat sasaran edukasi.

Pengelolaan dengan Bank Sampah

Salah satu pola pengelolaan sampah yang dilakukan di Bali adalah dengan bank sampah. Pegiat bank sampah dari Yayasan Bali Wastu Lestari Ni Wayan Riawati menawarkan pola ini sejak 2010 karena ia melihat sebelumnya pengelolaan sampah hanya pindah tempat.

Maka dari itu sejak 2010 ia mulai membangun kesadaran masyarakat terkait pengurangan sampah. Meski saat ini kesadaran masyarakat mulai tumbuh, namun implementasinya belum konsisten dan kontinyu. “Bukan sampah yang salah tapi cara menanganinya. Jadi untuk menuju Bali bebas sampah perlu transformasi paradigma, me- managemen sampah secara bertanggung jawab,” ujarnya.

Baca juga:  Pengembangan Infrastruktur Transportasi Perlu Perhatikan Dampak Negatif pada Lingkungan

Mengingat sampah tidak bisa dinolkan, maka perlu pemahaman untuk pengurangan timbulan sampah terutama penggunaan bahan atau kemasan single use. Selain edukasi pengurangan timbulan sampah, bank sampah juga membangun kemandirian mengelola sampah dari komunitas bank sampah.

Masyarakat yang tergabung di komunitas bank sampah diubah paradigmanya untuk menghasilkan uang dari mengelola sampahnya. Upaya pengelolaan tersebut meliputi pemilahan, penyetoran dan pencatatan di buku tabungan.

Sampah dipilah sesuai kategori yang ditetapkan bank sampah, kemudian disetor setiap bulan dan dicatat dalam buku tabungan. Dengan demikian masyarakat tidak mengeluarkan uang untuk iuran sampah per bulan, namun sebaliknya menghasilkan uang dari menyetorkan sampah.

Nilai Ekonomi

Menurutnya nilai ekonomi yang bisa didapatkan anggota bank sampah terutama rumah tangga, dari upaya mengelola sampah yaitu Rp5.000-Rp10.000 per bulan. Meski sedikit, sampah tersebut toh hilang dari rumah dengan cara yang benar, sekaligus tak ada iuran yang dikeluarkan untuk biaya angkut sampah yang berkisar antara Rp20.000 sampai Rp100.000.

“Artinya jika dikumpulkan dalam setahun walaupun sedikit ada nilai yang dapat mereka manfaatkan. Itu kondisi pada rumah tangga dengan anggota keluarga 5 orang. Memang sedikit hasilnya karena prinsip edukasi kami itu pengurangan, reduce. Kalau masih ada sampah, ya pilah, supaya bisa dibawa ke bank sampah,” tandasnya.

Diakui, anggota bank sampah yang sudah teredukasi, tersosialisasi sejak lama, lebih dari 5 tahun tentang pemilahan sampah, cenderung volume sampah yang dihasilkan semakin sedikit. Dengan prinsip pengurangan timbulan sampah terutama penggunaan kemasan atau alat single use, maka sampah rumah tangga yang dihasilkan dapat berkurang.

Baca juga:  Darurat Sampah, Jaksa Ikutan Turun Bersihkan

Khusus, sampah anorganik yang disetorkan terdiri dari beragam jenis sampah diantaranya botol plastik, kertas, botol kaca, kaleng, minyak jelantah, kelapa daksina dan pupuk organik cair (POC).

Ia menanamkan prinsip pada anggotanya, semakin terpilah semakin tinggi nilainya. Misalnya plastik dipilah minimal menjadi 7 jenis, sehingga memberi nilai yang cukup bagi mereka.

Tak hanya menerima anggota dari rumah tangga, ia juga menerima keanggotaan dari pelaku usaha. Sehingga saat ini jumlah anggotanya lebih dari 500.000.

Menurutnya, jumlah tabungan terbanyak adalah dari pelaku usaha seperti warung kelontong karena warung memiliki jenis sampah yang lebih kompleks, seperti kotak bekas. “Tabungannya berkisar Rp50 ribu hingg Rp100 ribu per bulan,” ujarnya.

Banyak juga anggota yang menabung minyak goreng bekas (minyak jelantah), sementara tabungan plastik saat ini mulai berkurang, kurang dari 1 kg dalam satu hari. “Justru minyak jelantah yang merupakan bahan baku biosolar, harganya paling tinggi dibanding jenis sampah lainnya yaitu Rp4.000-Rp5.000 per liter. Sedangkan nilai plastik justru kecil,” imbuhnya.

Tren Sampah Kaca Meningkat

Tren baru saat ini yaitu peningkatan sampah botol kaca ke bank sampah. Namun datangnya bukan dari rumah tangga melainkan dari pelaku usaha. Hanya saja nilai botol kaca kecil yaitu Rp25-Rp50 per kg.

“Saat kunjungan ke kantin sekolah tidak ditemukan lagi botol plastik di bawah 1 liter tapi diganti botol kaca, itu sama saja single use, tidak ramah lingkungan karena sekali pakai,” tukasnya.

Baca juga:  Dukung Pergub No. 97 Tahun 2018, KFC Komit Tanpa Kantong Plastik

Sementara pengurangan sampah botol plastik sejak aturan pembatasan botol plastik AMDK di bawah 1 liter, belum terlihat ada penurunan di bank sampah. Beberapa bulan sejak penerapan SE, ia melihat tren botol plastik yang masuk ke bank sampah masih stabil.

Selain botol kaca, tren penggunaan paper cup juga menjadi ancaman. Paper cup justru tidak bisa didaur ulang dan tidak diterima di bank sampah. Dengan demikian menurutnya beberapa alternatif penyelesaian sampah plastik seperti penggunaan botol kaca atau paper cup tidak menyelesaikan masalah sampah karena digunakan sekali (single use).

Maka dari itu, edukasi dan sosialisasi tentang pengelolaan sampah tidak cukup sekali. Selain tetap melakukan edukasi, ia juga memperluas titik kumpul bank sampah. Saat ini jumlahnya mencapai 651 titik.

“Tugas kami, adalah menyiapkan titik kumpul bank sampah yang dilakukan secara gotong royong berbasis masyarakat. Titik kumpulnya ada di sekolah, banjar, di lembaga- lembaga. Jadi sampah rumah tangga dipilah setiap hari, disetor sebulan sekali,” imbuhnya.

Akademisi Ilmu Sosial dan Humaniora Undiknas I Nyoman Subanda melihat prinsip penting dari negara dengan pengelolaan sampah terbaik yaitu, edukasi dan kesadaran tinggi, infrastruktur dan daur ulang modern, insentif dan sanksi yang jelas dan tegas, teknologi canggih, kebijakan konsisten, serta kolaborasi pemerintah, swasta dan warga yang baik. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN