Arsip foto- Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI Mahfud MD berbincang dengan media di Solo, Jawa Tengah, Kamis (27/2/2025). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang disarankan untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal, meski menimbulkan kerumitan baru.

Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD, sebagaimana keterangan tertulis, dikutip dari kantor berita Antara, Rabu (9/7), mengatakan bahwa putusan MK, termasuk Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, bersifat final dan mengikat sehingga tetap harus dilaksanakan.

“Putusan itu tidak boleh tidak, harus dilaksanakan, putusan MK ini menurut saya harus diterima meskipun menimbulkan kerumitan hukum baru,” kata Mahfud yang juga mantan Ketua MK itu.

Mahfud memandang putusan MK yang amarnya memerintahkan pemilu DPRD dan kepala/wakil kepala daerah 2 atau 2,5 tahun digelar sejak pelantikan anggota DPR, DPD, atau presiden/wakil presiden mulai tahun 2029 berpotensi menimbulkan permasalahan.

Baca juga:  Jam Kerja ASN Selama Ramadhan Ditetapkan

Dengan adanya putusan itu, imbuh dia, jabatan gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia akan mengalami kekosongan. Walaupun dapat diangkat penjabat kepala daerah, hak demokrasi dikhawatirkan terampas karena masa jeda bisa hingga 2,5 tahun.

“MK telah membuat kerumitan hukum, saya melihatnya juga MK terlalu masuk ke open legal policy, seharusnya hal itu tidak diatur oleh MK, masalah jadwal masalah apa, mestinya urusan pembentuk undang-undang. Apakah ada pelanggaran terhadap open legal policy, banyak. Tapi kalau betul-betul melanggar UUD, kalau ini, apa, tidak ada pelanggaran hukumnya,” ucapnya.

Baca juga:  Merapat ke Golkar, Ridwan Kamil Bertemu Airlangga Hartarto

Mahfud juga menyoroti konstruksi hukum jadwal pemilihan kepala daerah yang sudah berkali-kali diuji ke Mahkamah.

Pada 2004, terang dia, sudah ada Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 yang menyatakan bahwa pemilu yang demokratis yang berlaku bagi pilkada bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

“Dengan adanya putusan MK bisa liar loh ini, bisa muncul lagi, ‘Sudah, kalau begitu kita kembali ke DPRD saja, wong itu dulu sudah didukung dan sudah berjalan.’ Bisa karena kata MK itu bisa langsung atau tidak langsung itu sama konstitusionalnya. Jangan-jangan bisa liar ke situ nanti,” katanya.

Baca juga:  PLN Perbaiki Peralatan di Gianyar, Beberapa Titik Alami Pemadaman

Sementara itu, mengenai jenis-jenis pemilihan yang konstitusional, Mahmud menyebut MK dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu anggota lembaga perwakilan, yakni DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan secara serentak mulai 2019.

Namun, melalui putusan terbarunya, Mahmud menilai MK inkonsisten, memasuki ranah kebijakan hukum terbuka, dan berpotensi memicu kegaduhan politik.

“Tapi kita tetap harus bersikap konstitusionalis. Putusan MK ini harus dilaksanakan, dalam arti harus segera dibuat undang-undang, apa pun ujung dari undang-undang itu, apakah ke yang semula Putusan Nomor 72 atau ke ujung yang lain, itu perdebatan di lapangan politik,” ujarnya mengingatkan. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN