Komisi I DPRD Bali saat turun langsung menyerahkan rekomendasi penutupan dan pembongkaran bangunan akomodasi pariwisata yang melanggar, di Hotel Step Up, Kelurahan Jimbaran, Kabupaten Badung, Jumat (13/6/2025). (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pelanggaran terhadap tata ruang di Bali semakin marak terjadi. Banyak peraturan daerah (perda) dan undang-undang yang dilanggar. Ironisnya pelanggaran telah berlangsung berpuluh tahun tanpa ada tindakan.

Pemerintah dinilai melakukan pembiaran dan patut diduga banyak oknum bermain. Pengenaan sanksi perdata bahkan pidana bagi pelanggar sesungguhnya dapat dikenakan.

Hal tersebut disampaikan akademisi masing-masing Prof. I Putu Rumawan Salain dan Prof. I Made Arya Utama, di Denpasar, Minggu (29/6).

Rumawan Salain yang merupakan dosen Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa (Unwar), menyayangkan maraknya pelanggaran tata ruang di Bali. Temuan Komisi I DPRD Bali di Badung Selatan seperti di Pantai Bingin dan Jimbaran, jelas menunjukkan ada banyak peraturan yang dilanggar.

Menurut Rumawan, peraturan tersebut di antaranya, Perda Nomor 5 Tahun 2005 tentang Arsitektur Bangunan, Perda Nomor 2 Tahun 2023 tentang RTRW, UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pesisir Pantai dan Pulau Kecil, UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.

“Dengan demikian setiap kasus dapat saja terkena pasal berlapis. Masing-masing pelanggaran memiliki konsekuensi hukum. Akan tetapi membangun di atas tanah negara tanpa izin memiliki konsekuensi hukum yang serius. Pelaku bisa dikenakan sanksi pidana dan perdata, serta berpotensi menghadapi penggusuran bangunan,” tegasnya.

Demikian pula bagi pelaku pelanggaran garis sempadan, ketinggian bangunan, serta perwajahan arsitektur tradisional Bali dapat terkena sangsi pembongkaran “penyesuaian”. Di samping itu, sangat mungkin akan ada yang berhubungan dengan Hukum Administarsi Negara (HAN). “Dan mirisnya akan ada oknum yang diduga ikut memainkan peran untuk memuluskan pelanggaran tersebut,” ujarnya.

Baca juga:  IMF-WB Annual Meeting 2018, Kodam Latihan Antisipasi Penyanderaan Delegasi

Sementara itu, Arya Utama yang merupakan Guru Besar Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana menyoroti praktik pembiaran yang kerap membuat pelanggaran terjadi berulang. Keberanian seseorang membangun tanpa izin sering kali bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena adanya rasa aman yang ditimbulkan oleh pembiaran dari aparat atau sistem pengawasan yang longgar.

Masyarakat tidak akan sembarangan membangun tanpa izin jika tidak merasa aman atau dijamin.  Arya juga mengingatkan aparat pemerintah untuk tidak bermain-main dengan kewenangan pemberian izin.

Ia mengutip Pasal 73 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menegaskan bahwa pejabat yang mengeluarkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat dikenai sanksi, bahkan diberhentikan dari jabatannya.

Hasil sidak yang dilakukan Satpol PP Bali dan Komisi I DPRD Bali telah menemukan 3 lokasi pelanggaran tata ruang yang terdapat di wilayah Pemerintah Kabupaten Badung. Yaitu, di kawasan Pantai Bingin di Desa Pecatu, Kuta Selatan yang terdapat 45 buah bangunan yang direkomendasikan untuk dibongkar yang berupa homestay, vila, dan lainnya. Bahkan, objek arsitektural tersebut sudah terbangun sejak tahun 1980.

“Artinya, terjadi pembiaran oleh yang berwenang. Mirisnya lagi ternyata banyak bangunan-bangunan tersebut dibangun di atas lahan bukan hak milik. Dan hebatnya ada pula bangunan yang dimiliki oleh WNA,” kata Prof. Rumawan.

Baca juga:  Gempa di Tapanuli Utara, Satu Meninggal dan Sejumlah Warga Luka

Lampaui Garis Sempadan

Pelanggaran lainnya, yaitu Hotel Step Up di Kelurahan Jimbaran yang bangunan vilanya melampaui garis sempadan bangunan terhadap pantai dan menggunakan jurang tebing dan/atau kawasan jurang tebing yang merupakan status hak tanah negara. Selain itu, ada juga terjadi pelanggaran terhadap ketinggian bangunan yang melampaui peraturan yang telah ditetapkan 15 meter dari permukaan tanah di mana bangunan didirikan.

Pelanggaran terhadap ketinggian bangunan disertai dengan tidak tercerminnya arsitektur tradisional Bali merupakan pelanggaran terhadap Perda Bangunan Gedung Nomor 5 Tahun 2005.

Berikutnya, di kawasan Pantai Balangan Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, ditemukan ada 23 pengusaha akomodasi pariwisata dengan jenis restoran yang terbanyak yang terindikasi memanfaatkan lahan sempadan jurang dan sungai.

Rumawan memuji sikap Komisi I DPRD Provinsi Bali terhadap pelanggaran yang ditemukan, khususnya yang berlokasi di Pantai Bingin dan Hotel Step Up. Pelanggaran yang terberat adalah membangun tanpa ada persetujuan SHP, SHS, SHGU, dan SHGB sebagai bukti kepastian hukum boleh dibangun.

Ia mengajak pemerintah untuk mendukung penuh langkah Komisi I DPRD Bali untuk menindak tegas setiap pelanggaran tata ruang yang terjadi. Apalagi, kasus semacam ini ditengarai juga berlangsung di beberapa lokasi di Bali yang wajib kiranya dilakukan tindakan yang sama “adil” .

Menurutnya, tidak ada orang yang kebal di depan hukum dan semua orang berlaku sama di depan hukum. Sanksi yang telah tertuang dalam Perda dapat ditetapkan sesuai dengan derajat pelanggarannya.

Baca juga:  Pleno PPK Klungkung, Seluruh Saksi Ganjar-Mahfud Tolak Tanda Tangan Hasil Pilpres

Sanksi pembongkaran bagi pihak yang membangun di atas lahan milik negara adalah tepat. “Tindakan tegas dan penuh tanggung jawab telah diawali oleh rekan-rekan di DPR Provinsi Bali melalui Komisi I seharusnya diikuti oleh pemerintah kota/kabupaten beserta DPRD masing-masing. Diperlukan sinergitas dan koordinasi yang terintegrasi dalam bingkai Bali Dwipa Jaya,” ujarnya.

Ditambahkan Arya, maraknya pelanggaran pembangunan yang terjadi saat ini, seperti pembangunan di kawasan konservasi, sempadan pantai, hingga di tebing-tebing rawan demi mengejar estetika dan menarik minat wisatawan sebagai alarm serius bagi pemerintah daerah.

Ia menyoroti praktik-praktik pelanggaran lainnya seperti penyalahgunaan izin, penyerobotan tanah negara, hingga keberanian pelaku pembangunan menerobos hukum demi kepentingan, keuntungan pribadi.

Untuk itu, ke depan Pemerintah Provinsi Bali harus mengambil peran lebih besar dalam mengendalikan arah pembangunan yang sesuai aturan. Dalam menjaga tata ruang, Prof. Arya mendorong pendekatan hukum partisipatif sebagai kunci mencegah pelanggaran sejak dini.

Ia menyebut model penegakan hukum tidak bisa semata bersifat top down, melainkan harus dikembangkan melalui pendekatan bottom-up yang melibatkan aparat pemerintahan hingga tingkat paling bawah.

Ia berharap, dengan penguraian masalah secara terbuka, akar persoalan bisa ditemukan dan pelanggaran serupa tidak terulang di masa depan. (Ketut Winata/balipost)

 

BAGIKAN