Sekretaris Jenderal Partai Golkar Muhammad Sarmuji di Jakarta, Rabu (28/5/2025). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Kementerian Kebudayaan diminta hati-hati dalam penulisan ulang sejarah Indonesia agar tidak terjadi adagium “Sejarah ditulis oleh pemenang”. Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Muhammad Sarmuji.

“Karena itu kita mesti hati-hati dalam menulis sejarah jangan sampai adagium ‘Sejarah ditulis oleh pemenang’ itu terjadi,” kata Sarmuji di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Senin (16/6).

Dia pun mengingatkan, agar penulisan ulang sejarah tersebut disusun secara objektif berdasarkan fakta yang sebenarnya.

Baca juga:  Anggota PWI Rangkap Jadi Pegawai Negeri Harus Mundur

Hal tersebut, kata dia, agar generasi yang akan datang mengambil pelajaran dengan benar atas pengalaman baik maupun pahit dari perjalanan bangsa Indonesia.

“Pengalaman pahit supaya tidak terulang, pengalaman baik supaya bisa dinapaktilasi jejak sejarahnya. Oke?” katanya.

Untuk itu, dia meminta Kementerian Kebudayaan mengkaji terlebih dahulu urgensitas penulisan ulang sejarah Indonesia. “Apakah memang sejarah yang ada sekarang itu banyak yang perlu diluruskan atau seperti apa?” tuturnya.

Sebab, lanjut dia, sejarah yang ditulis ulang tersebut nantinya akan menjadi bahan rujukan yang dibaca oleh generasi selanjutnya. “Apa yang terjadi hari ini akan menjadi sejarah, dan sejarah itu yang akan dibaca oleh generasi masa depan, generasi masa depan akan memetik apa yang dituliskan oleh generasi saat ini,” kata dia.

Baca juga:  Koalisi 3 Partai Siap Hadang PDIP di Pilbup Badung

Sebelumnya, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”, yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

Menurutnya, pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

Baca juga:  Tarif Baru Ojol Diberlakukan di 5 Kota Ini

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” kata Fadli Zon. (Kmb/Baliost)

 

BAGIKAN