
JAKARTA, BALIPOST.com – Putusan DKPP yang telah memberhentikan penyelenggara pemilu karena terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) bersifat final dan mengikat.
Penegasan ini disampaikan langsung oleh Ketua DKPP Heddy Lugito, menanggapi sejumlah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang diajukan oleh penyelenggara pemilu yang telah diberhentikan.
“Perlu ditegaskan sekali lagi, putusan DKPP bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada mekanisme atau upaya hukum lainnya yang bisa menganulir putusan DKPP,” kata Heddy di Kantor DKPP, Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Selasa (6/5).
Dia menegaskan bahwa ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) juga memperkuat ketentuan ini melalui Putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang menyatakan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat terhadap Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, serta Bawaslu.
“Sehingga lembaga-lembaga tersebut harus segera melaksanakan atau menindaklanjuti putusan DKPP,” ujarnya.
DKPP menghormati upaya hukum yang ditempuh sejumlah mantan penyelenggara pemilu yang telah diberhentikan DKPP. Namun perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi objek gugatan di PTUN tersebut bukan putusan DKPP.
“Yang menjadi objek gugatan adalah SK pemberhentian sebagai penyelenggara pemilu. Sementara putusan DKPP bersifat final dan mengikat,” jelas Heddy.
Adapun sepanjang tahun 2025 (per 5 Mei 2025), DKPP menerima 148 pengaduan dugaan pelanggaran KEPP. Dari jumlah itu, terdapat 141 pengaduan yang telah lolos verifikasi administrasi.
Dan dari pengaduan-pengaduan yang telah lolos verifikasi administrasi itu, sebanyak 78 pengaduan naik ke tahap verifikasi material.
Berikutnya, dari 78 pengaduan pada tahap verifikasi material, sebanyak 55 di antaranya dilimpahkan dan diregistrasi menjadi perkara untuk disidangkan, sedangkan sisanya masih dalam proses verifikasi.
“DKPP telah meregistrasi 145 perkara sepanjang tahun 2025. Dengan jumlah perkara yang telah diputus sebanyak 102 perkara dan 69 di antaranya merupakan pelimpahan tahun 2024,” ucapnya.
Sebagai catatan, sepanjang tahun 2024, DKPP secara total telah menyidangkan 236 perkara. Amar putusan yang dihasilkan pada periode tersebut adalah: peringatan (260), peringatan keras (101), peringatan keras terakhir (26), pemberhentian dari jabatan ketua (5), pemberhentian sementara (5), dan pemberhentian tetap (66).
Sementara 527 penyelenggara pemilu lainnya direhabilitasi atau dipulihkan nama baiknya karena tidak terbukti melanggar KEPP.
Pada Tahun 2025 terdapat 102 perkara yang telah diputus DKPP. Amar putusan yang dihasilkan yakni: peringatan (110), peringatan keras (49), peringatan keras terakhir (9), pemberhentian dari jabatan ketua (7), pemberhentian sementara (1), dan pemberhentian tetap (13).
“Sebanyak 212 penyelenggara pemilu lainnya direhabilitasi karena tidak terbukti melanggar KEPP,” tutur Heddy.
Jika ditotal, sepanjang periode 2024 dan 2025, DKPP telah menyidangkan 338 perkara, dengan amar putusan yakni: peringatan (370), peringatan keras (150), peringatan keras terakhir (35), pemberhentian dari jabatan ketua (12), pemberhentian sementara (6), pemberhentian tetap (79). Sedangkan penyelenggara pemilu yang direhabilitasi sebanyak 739.
Lebih lanjut, DKPP menerima 16 pengaduan terkait pemungutan suara ulang (PSU) usai putusan Mahkamah Konstitusi sepanjang tahun 2025. Dari jumlah itu, ada 1 (satu) pengaduan yang telah dilimpahkan dan menjadi perkara, dua pengaduan yang gugur pada tahap pemeriksaan, dan tiga belas aduan lainnya masih dalam proses verifikasi administrasi dan material.
Pengaduan yang diterima DKPP berasal dari Kabupaten Banggai (dugaan tidak profesional dalam melaksanakan pilkada), Kabupaten Buru (pengambilalihan proses perhitungan suara), Kabupaten Barito Utara (dugaan politik uang dalam pilkada).
Selanjutnya,Provinsi Papua (dugaan pelanggaran mekanisme, tata cara, dan prosedur pencalonan gubernur dan wakil gubernur), Kabupaten Empat Lawang (dugaan berpihak kepada salah satu pasangan calon), Kabupaten Tasikmalaya (dugaan tidak profesional dalam pelaksanaan pilkada dan tidak transparan dalam pengelolaan anggaran).
Lalu, Kabupaten Kutai Kertanegara (dugaan meloloskan calon bupati dan wakil bupati yang telah dua periode menjabat), dan Kabupaten Mahakam Ulu (dugaan tidak profesional dalam pelaksanaan pilkada). (Kmb/Balipost)