
DENPASAR, BALIPOST.com – Bali sedang tidak baik-baik saja. Selain menghadapi persoalan kemacetan dan sampah, keamanan dan kenyamanan Bali sebagai daerah tujuan pariwisata dunia juga semakin tergerus. Kasus penembakan warga negara asing (WNA) oleh sesama WNA di Canggu dan pembunuhan di Songan Kintamani menunjukkan rendahnya tingkat keamanan dan kenyamanan.
Menurut Akademisi Hukum Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., berbagai fenomena permasalahan yang terjadi di Bali ini tidak hanya merusak citra Bali sebagai destinasi pariwisata dunia, tetapi juga menimbulkan pertanyaan apakah negara telah hadir menjamin hak atas rasa aman dan nyaman bagi warganya.
Kehadiran aparat penegak hukum pun dirasa belum optimal. Lemahnya patroli rutin, minimnya kamera pengawas (CCTV) di kawasan padat wisatawan, serta adanya keterbatasan jumlah personel kepolisian memperparah situasi.
“Dalam hal ini, aparat penegak hukum dan pemerintah daerah berkewajiban mencegah, meredam, dan menyelesaikan konflik sosial sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial,” tandas I Wayan Rideng, Minggu (15/6).
Pengamat Pariwista Prof. Dr. I Putu Anom, B.Sc., M.Par, Minggu (15/6) mengatakan, penembakan WNA tentu menimbulkan pertanyaan soal keamanan wisatawan di Bali. Terlebih kasus kriminalisasi terjadi dengan menggunakan senjata api. “Dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti ini kan orang, wisatawan berpikir datang ke Bali. Dan sekarang ada media sosial yang membuat berita cepat tersebar,” ujarnya.
Menurutnya, Bali perlu meningkatkan kenyamanan dan keamanan wilayah. Terlebih dengan senjata api yang digunakan dalam kasus kriminalitas. Di mana sudah ada yang membawa senjata api selain aparat.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pengamat Pariwisata dan Budaya, I Mangku Made Selasa Jaya. Dia mengatakan, berita negatif pasti akan berdampak negatif pada kunjungan wisatawan baik itu secara langsung ataupun tertunda.
“Pada 1988 saat kementerian pariwisata pos dan telekomunikasi dipimpin Bapak Soesilo Soedarman sudah disepakati bahwa faktor utama yang mempengaruhi usaha kepariwisataan adalah keamanan. Untuk itu perlu dioptimalkan sosialisasi sadar wisata dan sapta persona dalam berbagai versi materi dan pelaksanaannya sesuai audiensnya,” terangnya.
Banyaknya masalah yang membelit Bali tidak lepas dari lemahnya penegakkan hukum. Menurut Rideng contoh dampak lemahnya penegakkan hukum adalah terjadinya kemacetan.
Rideng mencontohkan kemacetan lalu lintas di Bali, terutama di jalur Denpasar–Ubud, Kuta–Seminyak, dan sekitarnya yang telah menyebabkan turunnya kenyamanan publik. Dalam perspektif hukum tata ruang dan transportasi, kemacetan merupakan bukti lemahnya pengendalian pembangunan serta pelanggaran terhadap prinsip good governance dalam perizinan pembangunan hotel dan vila.
Untuk itu, Wayan Rideng menegaskan sudah semestinya hukum hadir untuk mengatur pembangunan yang berkelanjutan dan proporsional. Sebab, ketika prinsip ini dilanggar, maka negara telah gagal memenuhi mandat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Apalagi, hal ini diperparah terhadap beberapa insiden perkelahian antarkelompok masyarakat lokal, baik karena isu adat, ekonomi, maupun konflik kepentingan lahan yang menandakan krisis nilai sosial.
Selain itu, peran mediasi hukum adat dan kelembagaan lokal seperti pecalang serta desa adat seharusnya diperkuat secara formal agar mampu menjadi garda pertama dalam menjaga stabilitas sosial. Apalagi, dengan berbagai fenomena yang terjadi ini menegaskan perlunya penguatan sistem hukum pidana dan peradilan yang menjamin penegakan hukum yang tegas, adil, dan transparan.
Reformulasi kebijakan tata ruang dan transportasi melalui revisi Perda RTRW Bali agar memperhatikan daya dukung lingkungan dan kapasitas infrastruktur. Peningkatan peran hukum adat dan kelembagaan lokal secara sistematis agar lebih diberdayakan dalam mencegah konflik sosial. Serta, kebijakan integratif berbasis keamanan manusia yang mengutamakan rasa aman dan nyaman, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi berbasis wisata.
“Jika hukum tidak segera direposisi sebagai alat kontrol sosial dan pendorong ketertiban, maka mimpi Bali sebagai surga pariwisata yang damai atau shanti akan tergantikan oleh wajah ketidakpastian dan kerentanan,” tegasnya.
Sementara itu, Anom mengatakan, terkait seleksi wisatawan bermasalah yang datang ke Bali, Guru Besar Universitas Udayana ini mengatakan, itu cukup sulit dilakukan. “Jika dia datang ke Bali diizinkan oleh negaranya dan data kita juga meloloskan, kan bisa saja,” terangnya.
Kewaspadaan masyarakat termasuk wisatawan kata dia perlu ditingkatkan dengan adanya kasus-kasus seperti ini. Dia juga menyebutkan, kasus seperti ini tidak menutup kemungkinan akan menambah travel warning dari negara-negara asal wisatawan. Setelah sebelumnya travel warning sudah dikeluarkan oleh Pemerintah Australia. Ini dikarenakan Bali sudah tidak dianggap nyaman lagi.
Dia juga melihat kasus lain, seperti perkelahian di Kalangan Tajen, di Songan, Bangli yang menambah ketidaknyamanan Bali. “Tidak hanya pedesaan, di mana-mana tidak aman kalau begini,” imbuhnya. (Ketut Winata/Widiastuti/balipost)