
DENPASAR, BALIPOST.com – Koordinator Audiensi dari Aliansi Perjuangan Rakyat Bali, Ida Bagus Bujangga Pidada Kastu Suardana menyoroti adanya kemunduran situasi ketenagakerjaan yang serius di Bali dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam audiensi terbuka yang dilakukan dengan Gubernur Bali dan DPRD Bali di wantilan Kantor DPRD Bali, Selasa (10/6), ia mengatakan kemunduran serius ini terjadi dalam perlindungan hak-hak pekerja. Saat ini, marak kasus pemutusan hubungan kerja sepihak, sistem kerja kontrak berkepanjangan (kontrak abadi), dan lemahnya jaminan status kerja tetap, keberadaan pengawasan ketenagakerjaan di daerah justru sangat terbatas.
“Hanya ada segelintir pengawas yang bertanggung jawab terhadap ribuan perusahaan, yang menyebabkan pelanggaran hak normatif seperti jam kerja berlebih, ketidakpastian pengupahan, hingga pelanggaran keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak ditindak secara memadai. Terlebih di sektor pariwisata dan perikanan, banyak pekerja menghadapi kondisi kerja yang eksploitatif tanpa kehadiran negara yang cukup kuat untuk melindungi mereka,” ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, kondisi ini diperparah dengan lemahnya perlindungan terhadap kebebasan berserikat. Alih-alih didukung, banyak serikat buruh justru menghadapi pemberangusan, intimidasi, bahkan kriminalisasi terhadap pengurus dan anggotanya.
Ia menilai Pemerintah Provinsi Bali belum menunjukkan komitmen nyata dalam mendorong kehadiran serikat buruh di perusahaan, terutama melalui pembentukan kebijakan daerah yang memberikan landasan kuat atas hak berserikat, termasuk kewajiban perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang untuk memfasilitasi pembentukan serikat.
Diungkapkan, di sektor perikanan pekerja menghadapi persoalan struktural yang belum tertangani. Mereka bekerja dalam risiko tinggi namun tidak diimbangi dengan upah yang layak dan perlindungan kerja yang memadai.
Sampai saat ini, belum ada ketetapan resmi mengenai upah minimum sektoral untuk sektor perikanan tangkap. Upaya pembentukan forum multistakeholder untuk perlindungan pekerja perikanan juga belum dilegitimasi secara resmi, padahal forum ini sangat penting untuk menyusun strategi perlindungan yang konkret dan kolaboratif.
Di sisi lain, tumpang tindih regulasi nasional yang belum diharmonisasi melalui kebijakan daerah menyulitkan pengawasan terhadap perjanjian kerja laut, proses perekrutan, dan mekanisme pengawasan di sektor perikanan.
Masalah lainnya adalah absennya kebijakan perlindungan yang komprehensif terhadap kelompok pekerja yang lebih rentan, seperti pekerja perempuan dan tenaga kerja lokal. Hingga kini belum ada regulasi di tingkat provinsi yang mewajibkan penyediaan rumah perlindungan pekerja perempuan di tempat kerja, sebagaimana diamanatkan oleh Permen PPPA Nomor 1 Tahun 2020.
Sementara itu, praktik perekrutan tenaga kerja asing ilegal masih berlangsung tanpa pengawasan ketat, mengancam kesempatan kerja tenaga kerja lokal. Minimnya sosialisasi hak-hak ketenagakerjaan dan lemahnya verifikasi terhadap peraturan perusahaan serta perjanjian kerja di tingkat perusahaan turut membuka ruang pelanggaran.
Dalam situasi yang demikian kompleks, penghapusan sistem outsourcing dan dukungan terhadap sistem kerja tetap yang adil menjadi keharusan, bukan sekadar janji. Maka dari itu, langkah-langkah progresif melalui pembentukan kebijakan daerah sangat dibutuhkan untuk menjawab berbagai persoalan ketenagakerjaan secara menyeluruh.
“Dalam konteks ini sangat mendesak bagi Gubernur dan DPRD Provinsi Bali untuk mengambil langkah konkret dan menyusun kebijakan daerah yang berpihak pada keadilan, kesejahteraan, dan martabat buruh,” tandasnya. (Ketut Winata/balipost)