
DENPASAR, BALIPOST.com – Saat musim angin berhembus antara Juni hingga September, langit Bali dipenuhi warna-warni layangan yang melayang megah.
Namun bagi masyarakat Bali, tradisi bermain layangan tidak hanya sekadar hiburan musiman, tetapi juga bagian dari budaya, spiritualitas, dan identitas sosial yang telah diwariskan lintas generasi.
Berikut tujuh fakta menarik yang menunjukkan bahwa tradisi layangan di Bali jauh lebih dalam dari sekadar permainan:
1. Bukan Sekadar Mainan Anak-anak
Bermain layangan (makekabung) adalah kegiatan lintas usia. Di banyak desa, terutama di wilayah pesisir seperti Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, orang dewasa bahkan para lansia turut ambil bagian dalam kegiatan ini. Layangan menjadi ajang ekspresi kreatif dan kebanggaan banjar.
2. Memiliki Makna Spiritual
Dalam kepercayaan Hindu Bali, layangan merupakan persembahan kepada Dewa Rare Angon, pelindung anak-anak. Diterbangkannya layangan dianggap sebagai wujud syukur atas musim angin serta harapan agar masyarakat selalu diberi keselamatan dan kesuburan.
3. Jenis Layangan Penuh Simbol
Tiga jenis layangan tradisional Bali yang paling dikenal adalah:
– Bebean: menyerupai ikan, melambangkan kesuburan.
– Pecukan: berbentuk setengah lingkaran, melambangkan keseimbangan.
– Janggan: memiliki ekor panjang yang bisa mencapai 100 meter, dipercaya sebagai simbol pelindung dan penjaga alam.
Layangan-layangan ini sering dihias dengan warna dan motif khas Bali serta diterbangkan dengan iringan gamelan.
4. Festival Layang-layang Internasional
Setiap tahun, Bali menggelar Bali Kite Festival, salah satunya di Pantai Padang Galak, Denpasar. Festival ini mempertemukan tim dari berbagai banjar dan peserta mancanegara. Layangan berukuran raksasa diterbangkan dengan semarak, diiringi baleganjur dan penuh semangat kompetisi.
5. Tradisi Komunal dengan Persiapan Serius
Pembuatan layangan raksasa memakan waktu berminggu-minggu dan melibatkan puluhan warga. Masing-masing memiliki peran—mulai dari pembuat kerangka bambu, pemasang kain, pelukis motif, penabuh gamelan, hingga tim yang menarik layangan saat lomba.
6. Memiliki Etika dan Batasan Adat
Meskipun bersifat hiburan, bermain layangan tetap diatur oleh norma adat. Misalnya, tidak boleh dimainkan saat upacara keagamaan, tidak boleh diterbangkan di dekat pura, dan ada batasan waktu harian yang disepakati. Beberapa desa bahkan mengeluarkan perarem (aturan adat) untuk menjaga ketertiban.
7. Berpotensi Menimbulkan Konflik, Lalu Diatur Lewat Adat
Karena bersifat kompetitif dan menyangkut ruang terbang, konflik antarkelompok bisa terjadi—misalnya rebutan layangan jatuh atau pelanggaran batas wilayah. Untuk mencegah hal ini, beberapa desa mengatur kegiatan layangan lewat keputusan adat maupun surat edaran desa. (Pande Paron/balipost)