
DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerhati ekonomi menilai biaya hidup di Bali makin mahal sehingga banyak pekerja merasa pendapatan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sebagai contoh, inflasi tahunan di Denpasar pada April 2025 mencapai 2,69%. Dengan Upah Minimum Kota (UMK) Denpasar tahun 2024 sebesar Rp3.096.823. Akibatnya, banyak individu mencari pekerjaan tambahan atau beralih ke sektor informal untuk menutupi kekurangan tersebut, kata Dekan FEB Undiknas University, Prof. Dr. IB. Raka Suardana, M.M. di Denpasar, Rabu (14/5).
Dia mengestimasikan untuk hidup layak di Denpasar, estimasi pengeluaran bulanan untuk individu lajang berkisar antara Rp5 juta hingga Rp6 juta, tergantung pada gaya hidup dan kebutuhan pribadi.
Bagi keluarga kecil dengan satu anak, biaya hidup dapat mencapai Rp9 juta hingga Rp10 juta per bulan. Komponen utama pengeluaran meliputi sewa tempat tinggal, makanan, transportasi, pendidikan, dan kebutuhan lainnya.
Prof. Raka menambahkan kelompok yang paling terdampak oleh kenaikan biaya hidup ini adalah pekerja sektor informal, buruh harian, pedagang kecil, dan pekerja lepas.
Mereka ini sering kali tidak memiliki perlindungan sosial yang memadai dan menghadapi ketidakpastian pendapatan. Selain itu, keluarga muda dan pendatang dari daerah lain yang menetap di Denpasar juga merasakan tekanan finansial yang besar, terutama dalam hal biaya sewa dan kebutuhan sehari-hari. “Tingginya biaya hidup berdampak langsung pada perekonomian lokal,” ujarnya.
Daya beli masyarakat menurun, kata Prof. Raka, pada gilirannya mempengaruhi omzet pelaku usaha kecil dan menengah. Selain itu, tekanan finansial dapat meningkatkan angka kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan tabungan (makan tabungan), beralih kepinjaman online yang dapat berdampak jangka panjang terhadap kualitas hidup dan pertumbuhan ekonomi daerah.
“Dengan UMK yang ada, banyak keluarga harus mencari sumber pendapatan tambahan atau menyesuaikan gaya hidup mereka uk memenuhi kebutuhan tersebut,” jelasnya.
Kebutuhan biaya hidup tinggi secara tidak langsung membuat warga juga memilih alternatif pinjaman online ilegal. Seperti ditegaskan Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) belum lama ini, di mana kembali mengingatkan kepada masyarakat untuk lebih berhati-hati terhadap berbagai macam modus penipuan di sektor keuangan, terutama momen hari raya keagamaan.
Beberapa macam modus penipuan tersebut antara lain, tawaran pinjaman online ilegal yang menjanjikan proses cepat untuk memenuhi kebutuhan jelang hari raya, tawaran investasi ilegal yang menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat, phising yang memancing korban untuk memberikan informasi atau data pribadi melalui link/tautan.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Warmadewa (FEB Unwar), Dr. Ida Bagus Agung Dharmanegara, S.E., M.Si., mengatakan naiknya biaya hidup di Bali bukanlah fenomena yang muncul tiba-tiba, melainkan hasil dari dinamika ekonomi yang berlangsung selama bertahun-tahun. Ketergantungan yang tinggi pada sektor pariwisata, masuknya warga negara asing dan pendatang dengan daya beli tinggi, serta maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi properti komersial, telah menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem ekonomi lokal.
Bahkan, keadaan akan diperparah apabila orang Bali tidak segera mengubah pola hidup yang konsumtif dan gaya hidup cenderung meniru gaya wisman. Sebab, masyarakat lokal terutama mereka yang bergantung pada sektor informal atau hidup di desa-desa adat, menghadapi tekanan besar.
Harga kebutuhan pokok naik, akses terhadap hunian layak semakin sulit, dan peluang untuk berpartisipasi dalam ekonomi modern sering kali terbatas. Ini semua menimbulkan ketimpangan sosial dan mengancam ketahanan sosial budaya Bali yang selama ini dikenal kuat.
Namun, tantangan ini bukan tanpa solusi. Justru dari krisis inilah lahir peluang untuk melakukan transformasi. Masyarakat Bali perlu didorong untuk tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga subjek yang aktif menentukan arah pertumbuhan ekonomi mereka. Diperlukan sinergi antara pemerintah daerah, komunitas adat, pelaku usaha, dan generasi muda untuk menciptakan model ekonomi yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Langkah-langkah seperti diversifikasi ekonomi, penguatan UMKM, edukasi finansial, digitalisasi usaha, serta inovasi berbasis budaya harus dijadikan agenda prioritas. Revitalisasi nilai-nilai lokal seperti gotong royong, kebijaksanaan adat, dan keseimbangan hidup (Tri Hita Karana) juga perlu menjadi landasan dalam merancang masa depan ekonomi Bali.
“Bali memiliki kekayaan luar biasa, bukan hanya dari keindahan alamnya, tetapi dari kekuatan budayanya dan semangat masyarakatnya. Jika dikelola dengan visi jangka panjang dan keberpihakan pada rakyat kecil, Bali dapat menjadi contoh sukses pembangunan daerah yang manusiawi, mandiri, dan tahan terhadap guncangan global,” tandas Agung Dharmanegara, Rabu (14/5). (Suardika/Ketut Winata/balipost)