
DENPASAR, BALIPOST.com – Dalam beberapa pekan terakhir, publik ramai memperbincangkan lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBBP2) di berbagai daerah.
Tagihan pajak di sejumlah kabupaten/kota di Bali melonjak. Para pengamat sosial dan ekonomi menegaskan, kenaikan pajak di Bali perlu perlakuan khusus karena tanah Bali lebih banyak berfungsi religius untuk menjaga keberlanjutan nilai-nilai lokal Bali yang telah menjadi penyangga harmoni kehidupan.
Akademisi UNHI Denpasar yang juga Ketua Kerthi Bali Research Center, I Putu Fery Karyada, Selasa (19/8) menegaskan, pemerintah daerah perlu memberikan perlakuan khusus bagi tanah Bali. Bentuknya bisa berupa tarif lebih rendah, pengurangan, atau insentif pajak bagi tanah warisan leluhur dan sawah Subak.
Dia mengakui bahwa pemerintah daerah beralasan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) harus dilakukan setelah sekian lama tidak diperbarui. Namun, ketika koreksi dilakukan sekaligus, muncul “kejutan pajak” yang menimbulkan gejolak sosial.
Polemik ini semakin mempertegas bahwa prinsip utama dalam pajak haruslah berkeadilan, bukan sekadar pemenuhan target pendapatan daerah. Perhitungan secara matematis mungkin benar, tetapi penerapannya harus menggunakan pendekatan yang kontekstual, khususnya di Bali.
Pemerintah daerah memang beralasan bahwa penyesuaian NJOP sudah lama tertunda dan perlu segera diperbaiki. Namun, ketika koreksi dilakukan sekaligus tanpa mempertimbangkan realitas sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Bali, muncullah “kejutan pajak” yang menimbulkan gejolak sosial.
Dikatakan, di Bali tanah bukan sekadar aset ekonomi. Tanah warisan leluhur memiliki fungsi religius dan identitas kultural yang tidak bisa dinilai dengan harga pasar semata.
Demikian pula sawah dalam sistem Subak tidak hanya menjadi sumber pendapatan, tetapi juga bagian dari ekologi, spiritualitas, dan kearifan lokal yang diakui dunia. Jika pendekatan pajak mengabaikan dimensi ini, maka prinsip keadilan dalam perpajakan hilang, dan masyarakat akan merasa terbebani secara tidak proporsional.
Karena itu, penyesuaian NJOP seharusnya dilakukan secara bertahap dan adaptif, dengan memberikan perlakuan khusus bagi tanah warisan dan sawah subak. Hal ini penting bukan hanya untuk meringankan beban masyarakat, tetapi juga untuk menjaga keberlanjutan nilai-nilai lokal Bali yang telah menjadi penyangga harmoni kehidupan.
Pada akhirnya, pajak yang adil adalah pajak yang tidak hanya berpijak pada angka, melainkan juga selaras dengan konteks sosial-budaya di mana ia diberlakukan.
Atas dasar itu menurut I Putu Fery Karyada, pemerintah daerah perlu memberikan perlakuan khusus. Bentuknya bisa berupa tarif lebih rendah, pengurangan, atau insentif pajak bagi tanah warisan leluhur dan sawah subak.
Dengan cara ini, prinsip keadilan tetap terjaga, dan pajak benar-benar menjadi wujud gotong royong membangun daerah. ‘’Pajak yang adil adalah pajak yang memahami konteks sosial dan budaya masyarakatnya. Di Bali, itu berarti menghormati tanah leluhur serta melindungi sawah Subak sebagai jantung kehidupan masyarakat Bali,” tandasnya.
Sementara itu Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Warmadewa (FEB Unwar), Dr. Ida Bagus Agung Dharmanegara, S.E., M.Si., mengatakan, kenaikan PBBP2 yang kerap dijadikan jalan cepat meningkatkan PAD daerah terbukti menimbulkan beban berat bagi masyarakat kecil, terutama bagi pemilik tanah yang tidak produktif. Penyesuaian NJOP tak berkeadilan yakni dilakukan secara drastis tanpa mempertimbangkan kemampuan bayar warga.
Ia mencontohkan di Kabupaten Badung, PBB naik hingga 1.900%–3.500% dan di Gianyar mencapai sekitar 700% memicu protes warga karena lahan pekarangan maupun tegalan yang tidak menghasilkan justru menjadi beban pajak tahunan.
Dampak serupa terjadi di beberapa daerah seperti Pati dan Cirebon. Di mana warga kecil terpaksa menunggak atau menjual aset untuk menutupi kewajibannya. Sebaliknya, kebijakan yang lebih berkeadilan bisa dilihat di DKI Jakarta yang membebaskan PBB bagi rumah dengan NJOP Rp2 miliar serta membatasi kenaikan maksimal 50% per tahun.
Di Tabanan yang berhasil meningkatkan realisasi penerimaan 52,5% hanya dengan penghapusan denda piutang tanpa menaikkan pokok pajak.
Menurut Agung Dharmanegara, data dan contoh ini menunjukkan bahwa meski PBBP2 efektif mendongkrak PAD, tanpa skema perlindungan seperti pembatasan kenaikan, pembebasan NJOP kecil, atau keringanan terarah, kebijakan ini berisiko memperlebar ketimpangan sosial dan memaksa masyarakat kecil kehilangan aset tanahnya.
“Khusus untuk Bali, hal ini menurut saya pribadi dampaknya akan sangat berbahaya bagi masyarakat terutama bagi masyarakat pedesaan yang akan memaksa mereka menjual tanah-tanah waris mereka karena ketidakmampuan mereka membayar PBBP2,” ujarnya, Selasa (19/8). (Ketut Winata/balipost)