Ignatius Rhadite dan I Nyoman Mardika (kanan) usai melaporkan ormas yang membubarkan diskusi PWF. (BP/ken)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tindakan antidemokrasi dengan menggunakan kekerasan yang dilakukan organisasi kemasyarakatan dan kelompok lainnya terhadap diskusi The People’s Water Forum (PWF) 2024, 20-23 Mei lalu berbuntut panjang. Koalisi Bantuan Hukum untuk Demokrasi melaporkan ormas tersebut ke Polda Bali terkait tindak pidana pencurian, perampasan kemerdekaan dan penganiayaan.

Usai melapor, I Nyoman Mardika selaku panitia acara tersebut menyampaikan kedatangannya ke SPKT Polda Bali dalam rangka melaporkan peristiwa perampasan hak atas kemerdekaan, hak atas tanggung jawab sebagai warga negara, terhadap properti dan kekerasan serta intimidasi. Pihaknya melaporkan oknum ormas tertentu, kelompok-kelompok masyarakat, Dinas Satpol PP, adanya proses pembiaran yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang ada di lokasi kejadian.

“Jadi kami melaporkan dalam konteks kekerasan terhadap pemaksaan properti yang dirampas. Perampasan kemerdekaan kami yang memang prosesnya itu sudah terintimidasi dari beberapa hari sebelumnya. Oleh karena itu kami melapor ke Polda Bali,” ujarnya.

Menurut Mardika, secara kronologis, proses, peristiwa dan tahapan-tahapan yang sudah terjadi sejak 20 sampai 22 Mei intimidasi itu terjadi hingga penggerebekan yang dilakukan oleh ormas. Selain itu ada juga proses pembiaran, padahal di sana ada Satpol PP hingga peristiwa itu terjadi. “Itu yang menjadi hal yang kami sedang laporkan,” ungkapnya.

Baca juga:  Kumulatif Pasien COVID-19 Bali Lampaui 3.000 Orang, Hanya 1 Kabupaten Nihil Tambahan Kasus

Ia berharap aparat kepolisian dalam hal ini Polda Bali agar laporan tersebut segera ditindaklanjuti. “Siapa yang memang sudah terbukti melakukan tindak pidana, perampasan, intimidasi, bahkan penganiayaan, dokumennya ada lengkap kami miliki. Itu bisa diproses secara hukum secara pidana berdasar ketentuan yang berlaku,” tegas Mardika.

Pihaknya akan awasi proses atau tindak lanjut laporan tersebut. Menurutnya ini penting sebagai efek jera kepada pihak yang melakukan dan tidak dilakukan lagi di kemudian hari. Dengan demikian proses-proses diskusi dikemudian hari dan kebebasan berpendapat bisa dilaksanakan secara damai, aman serta bertanggung jawab.

Terkait kegiatan itu belum mengantongi izin, Ignatius Rhadite dari Koalisi Hukum Bali untuk Demokrasi menegaskan pihaknya mengacu pada PP 60 Tahun 2017. Di pasal tersebut dinyatakan dengan tegas bahwasanya terkait kegiatan yang memerlukan izin.

Baca juga:  Kisruh Pengembang-Warga di Sangket Berlanjut

“Kalau kami baca di Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4, adalah kegiatan-kegiatan yang pertama, melibatkan publik untuk keramaian, kedua ada arak-arakan, ketiga membuat kegiatan untuk tontonan publik, dan Pasal 4 jelas yang perlu izin adalah yang ada potensi dampak keamanan. Artinya kalau kita melihat kegiatan PWF ini kan diskusi akademis yang kami lakukan secara tertutup, dalam ruang tertutup, tanpa melibatkan keramaian, tanpa membuat arak-arakan, tanpa menunjukan tontonan di jalan, tentu tidak perlu mengirimkan izin. Sehingga salah kaprah ketika polisi berdalih kegiatan PWF ini harus ada izinnya, karena jelas dalam PP 60 itu,” tegasnya.

Ignatius menambahkan ada tiga laporan yaitu tentang perampasan kemerdekaan Pasal 333 KUHP, mengingat ada pengepungan dan isolasi. Kemudian soal pencurian dan pencurian dengan kekerasan atau perampasan Pasal 362, 363 dan 365 KUHP. Ada juga kekerasan fisik Pasal 170 KUHP tentang penganiayaan bersama-sama, serta ada pelanggaran terhadap Pasal 18 Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Bali Kembali Melonjak di Atas 140 Orang, Kematian Juga Masih Dilaporkan

“Yang kami laporkan ormas yang mengatasnamakan PGN dan beberapa kelompok lain yang tidak bisa kami identifikasi saat kejadian,” ungkapnya.

Pihaknya melaporkan kejadian tersebut agar memberikan efek jera dan kedepannya tidak ada lagi. Selain itu supaya mereka tidak semaunya sendiri dan menggunakan cara-cara premanisme atau kekerasan.

Ia mengatakan negara ini negara hukum, segala sesuatunya ada batasannya lewat hukum, sepanjang tidak ada aturan hukum yang melarang, maka harusnya tidak boleh ada tindakan premanisme yang kemudian dikedepankan. “Jadi hari ini kami tegaskan pelaporan ini adalah upaya melindungi demokrasi. Selain itu upaya untuk membuat tidak ada lagi tindakan premanisme atau kekerasan di event-event yang akan datang. Kami dalam merilis ini mendesak kepada Komnas HAM, Komnas Perempuan dan lembaga negara lainnya untuk turut mendorong Polda Bali,” tutupnya. (Kerta Negara/balipost)

BAGIKAN