MANGUPURA, BALIPOST.com – Pura Dalem Tengkulung, yang terletak di Desa Adat Tengkulung, Tanjung Benoa, Kuta Selatan, telah menjadi tempat pelaksanaan masolah setiap hari Tumpek Wariga. Namun, yang menarik, pelaksanaan masolah ini tidak dilakukan oleh penduduk asli desa adat tersebut, melainkan oleh Desa Adat Kedonganan dan Tanjung Benoa.

Bendesa Adat Tengkulung, I Gede Eka Surawan, menjelaskan bahwa Pura Dalem Tengkulung ini merupakan Pura Swagina. Dulunya, di lokasi tersebut terdapat tegalan dengan pohon kayu besar yang cocok digunakan untuk Petapakan Ratu Ayu. Selain untuk nunas swagina, di Pura Dalem Tengkulung juga biasanya ada yang nunas taksu tapel atau petapakan Ratu Ayu.

Baca juga:  Telan Dana Rp1,4 Triliun, Bendungan Tiu Suntuk Siap Aliri 1.900 Hektare Lahan Pertanian

Sehingga selain untuk nunas swagina, di Pura Dalem Tengkulung juga biasanya ada yang nunas taksu tapel atau petapakan Ratu Ayu. Prosesi masolah dilakukan saat hari Tumpek Wariga, yang merupakan piodalan dari Pura tersebut.

Prasanak dari berbagai daerah seperti Tanjung Benoa, Sesetan Kaja, Sesetan Tengah, Gelegah, Bengkel, Kedonganan, Bualu, dan Tembau, berkumpul di Pura Dalem Tengkulung untuk melakukan prosesi masolah. Namun, yang melakukan masolah setiap Tumpek Wariga adalah Ratu Ayu dan Rangda dari Kedonganan dan Tanjung Benoa.

Baca juga:  Sejumlah Desa Tiru Langkah Desa Bengkala Kendalikan Rabies

Prosesi masolah ini telah dilaksanakan sejak lama, bersama dengan prosesi ngayah lainnya seperti Prembon. Setelah pelaksanaan prosesi, Petapakan dan krama yang mengikuti upacara kembali ke tempat masing-masing setelah matahari terbit.

Bahkan, saat prosesi petapakan atau budal, ada urutan tertentu yang harus diikuti, di mana Tengkulung adalah yang terakhir untuk budal. Menurut cerita turun temurun, Pura Dalem Tengkulung berkaitan dengan peristiwa di mana seorang anggota keluarga puri atau kerajaan menemukan seekor ular di bawah sengkuluk topi nelayan yang terbang oleh angin kencang.

Baca juga:  Desa Adat Banjarangkan Dipimpin Bendesa Baru

Dari peristiwa itu, didirikanlah pelinggih atau tempat suci di tempat tersebut, yang kemudian menjadi cikal bakal Pura Dalem Tengkulung.

Meskipun belum ada catatan tertulis yang menyokong cerita rakyat tersebut, masyarakat setempat tetap menghormati dan merawat warisan budaya tersebut. Hal ini menunjukkan pentingnya menjaga dan meresapi nilai-nilai tradisional dalam kehidupan sehari-hari. (Parwata/balipost)

Tonton selengkapnya di video

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *