John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Hari Guru Nasional dirayakan setiap 25 November. Pencetusan perayaan ini berkaitan dengan lahirnya organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tanggal 25 November 1945, tepatnya 100 hari setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Hari Guru Nasional itu kemudian ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.

Meskipun bukan hari libur, setiap sekolah biasanya mengadakan upacara bendera, para peserta didik memberi penghargaan atas jasa guru, di antaranya melalui persembahan “Hymne Guru”. Mengapa kedudukan guru menjadi sangat penting bagi kemajuan bangsa?

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan takluk kepada Sekutu, Kaisar Hirohito  berpidato melalui radio untuk membesarkan hati rakyatnya yang terpuruk setelah dijatuhi 2 bom atom di kota Hirosima dan Nagasaki. Di akhir pidatonya, sang kaisar tidak bertanya berapa tentara atau jenderal yang masih hidup, tetapi ia bertanya berapa orang guru yang masih hidup.

Sang Kaisar memahami, hanya guru yang dapat mengangkat bangsa Jepang  dari keterpurukannya dan membangun kembali negara matahari terbit itu. Tahun-tahun setelah kekalahan itu, pemerintah Jepang mengirimkan ribuan anak mudanya untuk belajar ke Eropa dan AS. Jepang bersedia belajar dari musuh yang pernah menaklukkannya.

Baca juga:  Wabup Ipat Minta Korpri dan PGRI Jaga Netralitas

Filosofinya sederhana: yang mengalahkan kita, pasti lebih hebat dari kita dan patut menjadi guru.  Strategi ini berhasil. Hanya dalam waktu satu dekada Jepang bangkit lagi dari dan melejit menjadi “macan Asia” yang menguasai dunia dengan barang-barang buatannya. Produk-produk Jepang, mulai dari komuditas barang seperti makanan kaleng, barang-barang elektronik, hingga mesin-mesin berat seperti Kotmatzu,Toyota, dan Honda menguasai pasar dunia. Jepang kembali berjaya.

Jangan heran, apabila guru atau suhu dalam bahasa Jepang, adalah profesi yang sangat dihormati. Ia ibarat terang yang menuntun orang yang terpuruk dalam pojok kegelapan keluar dari keadaannya.

Prinsip ini kiranya sejalan dengan istilah “Education” (pendidikan) yang berasal dari kata Bahasa Latin yakni “e-ducare” yang artinya mengantar keluar. Jadi guru adalah orang yang membimbing murid, yang tadinya berada dalam kegelapan, tidak mengenal diri sendiri, menjadi orang mengenal dan mengaktualisasi potensi dirinya.

Guru sebagai Terang

Metafora guru sebagai cahaya merupakan sebuah konsep yang sudah lama digunakan dalam berbagai kebudayaan dan filsafat pendidikan, untuk menggambarkan peran seorang guru sebagai pembimbing dan penerang jalan bagi para muridnya. Di dalam metafora ini, guru dipandang sebagai sumber pengetahuan, kebijaksanaan, dan arahan. Ia ibarat cahaya yang menerangi kegelapan dan memberikan kejelasan arah.

Baca juga:  Program Komunitas Petani

Peran guru adalah menginspirasi, memotivasi, dan menerangi murid-muridnya, dengan membantu mereka berlayar melewati kerumitan belajar dan hidup. Metafora ini menekankan kekuatan transformatif dari pendidikan dan dampak mendalam yang bisa guru berikan terhadap kehidupan murid-muridnya. Metafora itu menandaskan gagasan bahwa, tugas guru tidak hanya mengalihkan pengetahuan, melainkan juga berfungsi sebagai cahaya inspirasi dan dukungan, yang menolong murid untuk bertumbuh dan berkembang.

Dalam banyak tradisi spiritual dan filosofis, cahaya seringkali diasosiasikan dengan pengetahuan, kebenaran, dan pencerahan. Guru sebagai metafora cahaya mengacu pada simbol yang menyampaikan gagasan bahwa guru memainkan peran penting dalam upaya pencerahan pikiran para murid, dengan menghalau kebodohan, dan merawat pertumbuhan pribadi dan intelektual. Persis seperti halnya cahaya yang menyanggupkan kita melihat dengan jelas dan mengetahui keadaan sekitar kita. Guru membantu proses belajar dan memahami, memberdayakan murid untuk meluaskan wawasan dan mengaktualisasikan sepenuhnya potensi diri mereka.

Metafora ini juga menyoroti tanggungjawab yang melekat pada panggilan seorang guru. Seperti mercusuar, guru dipercayakan tugas mengarahkan murid-murid mereka pada jalan penemuan, mendorong rasa ingin tahu, dan kemampuan berpikir serta rasa dahaga terhadap pengetahuan. Ia dipercayai untuk memancarkan cahaya pada materi ajar, sudut pandang, dan berbagai kemungkinan pencapaian yang berbeda. Ini ia lakukan dengan mendorong para murid untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan baru dan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia sekitarnya.

Baca juga:  Masa Kampanye Dimulai, Netralitas Guru Harus Dijaga

Selain itu, guru sebagai metafora cahaya menggarisbawahi gagasan bahwa hidup dan ajarannya  dapat berpengaruh lama terhadap kehidupan murid-muridnya. Seperti halnya cahaya yang meninggalkan kesan yang tak bisa langsung terhapus bagi sekitarnya, demikian pula guru meninggalkan kesan yang lama di hati dan pikiran dari murid-murid yang ajar. Pengaruh guru dapat membentuk sikap, keyakinan diri, dan aspirasi murid-muridnya. Ia akan akan selalu mengarahkan mereka menuju pertumbuhan intelektual, perkembangan kepribadian dan keberhasilan dalam hidup.

Singkatnya, guru sebagai metafora cahaya merangkum makna mendalam dari pendidik dalam membentuk pikiran dan hati generasi masa depan. Guru berperan sebagai pengingat yang kuat terhadap peran sangat berharga yang ia mainkan dengan menyalakan cahaya pengetahuan, memantik rasa ingin tahu, dan memberikan pencerahan kepada murid-murid yang dipercayakan kepadanya.

Penulis, pendidik dan pengasuh Rumah Belajar Bhinneka

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *