Putu Sutawijaya. (BP/Istimewa)

TABANAN, BALIPOST.com – Sebagai daerah agraris, Tabanan tak hanya penghasil pangan, sehingga disebut lumbung beras. Namun, boleh juga dinamai lumbung seni, karena Tabanan banyak melahirkan seniman bertalenta, yang kesenimannya telah diakui dunia, seperti penari Ketut Maria, pematung Nyoman Nuarta, sastrawan Gusti Putu Wijaya, dan perupa Made Wianta.

Perupa generasi berikutnya, ada Putu Sutawijaya, Made Sumadiyasa, Gusti Nengah Nurata dan sebagainya.
Mutiara seni ini tentu menjadi kebanggaan bersama, membuat bangga menjadi orang Tabanan. Kiprah ber-
kesenian para maestro seni tersebut diharapkan selalu menginspirasi seniman-seniman muda di Tabanan,
untuk mengembangkan diri, baik secara personal guna melahirkan karya-karya orisinal yang spektakuler
monumental, maupun tumbuh bersama lewat komunitas.

Kehadiran komunitas seniman Tabanan yang bergabung dalam Maha Rupa Batukaru, diharapkan semakin
membinarkan mutiara seni di Tabanan dalam kancah regional, nasional, bahkan internasional. Setelah terbentuk sejak beberapa tahun lalu, komunitas ini telah menggelar pameran seni rupa di beberapa tempat.

Baca juga:  Tata Ruang Bali Rusak, Bencana Ekologis di Depan Mata

Bahkan, dalam mematangkan ide atau gagasan, Maha Rupa Batukaru bekerja sama dengan Pemkab Tabanan (Dinas Kebudayaan) menggelar sarasehan seni bertajuk: ‘’Bergerak Bersama Lumbung Seni Menuju Tabanan Era Baru’’. Kegiatan serangkaian HUT ke-530 Kota Tabanan itu dilangsungkan pada 14 November 2023 lalu di Gedung Kesenian Ketut Maria, dibuka Bupati Tabanan, I Komang Sanjaya.

Tampil sebagai narasumber I Putu ‘’Leong’’ Sutawijaya, seniman kenamaan pemilik Sangkring Art Space
Yogyakarta, dan Wayan Seriyoga Parta, dosen senirupa Universitas Gorontalo yang pendiri Gurat Institut. Juga
ada dua narasumber pendamping dari pengurus Maha Rupa Batukaru yaitu Wayan Wijaya dan Wayan Susana.

Baca juga:  Ngaku Dikejar Seseorang, Pria Asal Sumatera Lakukan Aksi Nekat

Narasumber Putu Sutawijaya mengatakan, secara personal seniman tentu harus melahirkan dirinya sendiri. Menanam dan memelihara sendiri, sehingga kelak berbunga dan berbuah. Suka-duka dalam proses itu, tentu asik dinikmati apa adanya.

Namun, ketika seniman bergabung dalam komunitas, spirit berkomunitas mesti dijaga bersama-sama. Ketika bibit tanaman sudah disemai bersama, anggota komunitas mesti rajin menyiram dan memupuknya bersama-sama, agar bisa tumbuh subur, yang nantinya buahnya bisa dinikmati bersama-sama.

Dalam proses menanam dan menumbuhsuburkan itu, anggota komunitas bisa saling mengisi dan berbagi.
Menjatuhkan pilihan hidup di jalur seni, kata Sutawijaya asal Angseri, Baturiti, seorang seniman mesti tahan banting dalam situasi apa pun. Namun, tetap optimis dan berupaya terus menghasilkan karya-karya yang
spektakuler.

Baca juga:  Dari Makna Pura Terbakar saat “Blood Moon” hingga Pohon Tumbang dan Jalan Jebol di Luwus

Karya-karya yang telah dibuat itu mesti ditunjukkan kepada publik seni lewat pameran, media sosial dan memajangnya di studio seniman itu sendiri. Karena itu menurut Sutawijaya, seniman penting memiliki
tempat untuk memajang karya.

Selain pentingnya pengarsipan atau pendokumentasian karya yang bagus, pemajangan karya perlu dilakukan di
art space strategis milik seniman itu sendiri, seperti studio maupun galeri. Art space itu tak perlu mewah. Dalam konteks ini, Sutawijaya menyebut nama dua seniman tersohor yakni Made Wianta dan Nyoman Gunarsa.

Kata lulusan ISI Yogyakarta ini, tugas seniman adalah berkarya. Setelah jadi, karya itu milik public. Apa pun
hasilnya, dinikmati saja. Terlebih, ada yang meminang. Itu adalah pasuwecan Ida Sang Widhi Wasa yang patut disyukuri. (Subrata/balipost)

BAGIKAN