Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kebudayaan tanpa kepentingan bukan berarti terlepas dari pentingnya kebudayaan. Pentingnya kebudayaan bukan kemudian dibalut dengan berbagai kepentingan yang tidak perlu. Tidak perlu dalam pengertian menghilangkan kemurnian dari kebudayaan itu.

Oleh karena itu penting untuk mengerti tentang kepentingan yang dimaksud terutama dalam konteks tulisan ini. Kepentingan lebih cenderung dimengerti dengan tidak melepaskan diri dengan aspek-aspek politik. Itulah yang menjadikan kemurnian atas kebudayaan patut untuk dikedepankan agar budi yang dijadikan sebagai dasar penting dalam pembentukan kebudayaan menjadi berkembang secara natural terutama dari konstelasi perkembangan kualitasnya.

Jika memang diperlukan suatu bentuk pengembangan yang lain seperti institusional memang tidak bisa terlepas total dari politik akan tetapi jangan sampai dikotori oleh politik. Politik dengan demikian jika mau dikaitkan dengan kebudayaan sebatas pada pengembangan yang tanpa kepentingan terutama kepentingan terselubung.

Inilah sebabnya memunculkan tulisan ini. Namun demikian tetap tanpa kepentingan dalam tulisan ini sedianya dikritisi.

Kebudayaan adalah sebuah kenyataan bukan sebuah angan-angan. Inilah kunci untuk mengerti tulisan kali ini. Pada kesempatan ini dapat dipaparkan bahwa pertama, kebudayaan sebagai suatu bentuk tanpa kepentingan politis. Kedua, kebudayaan sebagai bentuk kemunculan hati yang paling dalam. Ketiga, kebudayaan sebagai bentuk dan pola tanpa bentuk dan pola sehingga memunculkan kemurniannya.

Baca juga:  Tumpek Landep, "Otonan Idep" Bukan Motor

Pada poin yang pertama dapat ditelusuri bahwa ketika kebudayaan sudah dikotori oleh kepentingan politik praktis tanpa mengindahkan unggah-ungguh yang sepadan dengan nilai kemanusiaan yang sejati maka perlu dicermati bahwa kebudayaan dapat dipelintir.

Sebetulnya kebudayaan itu bersifat fleksibel namun fleksibelitas kebudayaan bergantung kepada sejumlah faktor utama antara lain pertama, kedewasaan masyarakatnya dalam berpikir secara rasional terhadap kebudayaannya sendiri dan kritis atas sesuatu yang berdampak atas kebudayaannya itu begitu pula tentunya dampak dari kebudayaannya.

Kedua, kebudayaan menjadi fleksibel alias tidak kaku jika ada keindahan didalamnya sehingga itulah yang disebut dalam budaya ke depan yaitu yang menjadikan ada kreativitas. Ketiga, keindahan dalam konstelasi yang kedua tadi tidak dijadikan sebagai ideologi melainkan sebagai cermin dari keindahan di dalam hati.

Keadaan kemasyarakatan sudah tentu tidak ingin terbebani oleh adanya sebuah paksaan kecuali atas panggilan dari dalam hati dan melahirkan fokus dalam pikirannya untuk berkarya. Ini sebagai bentuk kebudayaan yang tanpa kepentingan.

Sebagai bentuk persembahan atas kehidupan yang dijalani baik dalam berbagai bidang termasuk pertanian sekalipun sehingga di Bali dikenal adanya sistem Subak. Kebudayaan adalah untuk melahirkan kehidupan yang manis.

Baca juga:  Kebudayaan Sebagai Energi Terbarukan

Kehidupan yang manis untuk menetralisir kehidupan yang pahit. Inilah sebagai cara bahkan metode dalam berkebudayaan dengan dasa-dasar spiritualitas yang tidak fanatik. Dasar-dasar itu telah banyak ditemukan oleh para leluhur yang dengan jitu mampu dan berkemampuan dalam menerjemahkan diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan keberadaan semesta dan dirinya pun disadari ada dalam semesta itu sehingga tidak layak dan patut untuk saling menikam, menjatuhkan ataupun menghancurkan satu sama lain kecuali menghancurkan ego dan keakuan dalam diri.

Kemudian dapat diterjemahkan lebih lanjut ataupun lebih dalam lagi bahwa pertama, kebudayaan tanpa kepentingan memang tidak mudah. Kedua, kebudayaan tanpa kepentingan pun dapat diplesetkan tetap ada kepentingan.

Setelah menyadari tentang kemungkinan-kemungkinan adanya kebudayaan dengan kepentingan ataupun tanpa kepentingan sekiranya patut dan layak untuk dikedepankan sebagai berikut pertama, kebudayaan memang tidak mungkin tanpa kepentingan akan tetapi sangat mungkin jika kepentingan tersebut murni untuk kepentingan tanpa kepentingan. Kedua, kepenitngan yang murni dapat dikategorikan tanpa kepentingan.

Baca juga:  Intervensi 1.000 Hari Pertama Upaya Pencegahan “Stunting”

Ketiga, kepentingan yang murni berarti tanpa ada tendensi. Ketiganya itu adalah sebuah kesatuan untuk menciptakan kemurnian-kemurnian sehingga kreativitas terjaga sekalipun itu untuk kepentingan kemanusiaan sekalipun.

Saat yang tepat pasti datang jika kebudayaan menjadi sebuah tumpuan utama untuk menjaga solidaritas kemanusiaan yang utuh. Itu berarti bahwa manusia yang berkebudayaan pasti ada yang menunjukkan keempatian yang tinggi guna dapat hidup bersama secara sehat. Inilah yang kemudian sebagai salah satu parameter kebudayaan tanpa kepentingan. Memberikan kesempatan bagi masyarakatnya untuk berkarya secara sehat.

Pada kesempatan ini, dapatlah dijawab bahwa kebudayaan tanpa kepentingan menjadikan kebudayaan itu semakin menunjukkan kemurniannya. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik Bali. Akan tetapi, ketika kebudayaan itu sudah memasuki ranah politik seperti adanya sistem kasta maka kelak kemurnian itu pasti diuji kembali. Perlu, pendidikan yang menciptakan pribadi-pribadi yang luhur untuk membangun suatu bentuk dan pola kebahagiaan yang tanpa terikat oleh bentuk dan pola itu sendiri melainkan menjadikan suatu bentuk dan pola yang terus berkembang guna fleksibelitas terhadap pencapaian kebahagiaan secara menyeluruh.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *