Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Merantau dengan modal nekat ke kota dan berbekal skill pas-pasan bahkan tanpa skill, hanya akan menjebak diri ke dalam kubang kemiskinan yang dalam. Gaji yang tak bakal cukup untuk melunasi biaya kos/kontrak bulanannya. Itulah kemudian desa punya tugas besar dalam relasi ini, yakni meredam atau mencegah bagaimana caranya agar gelombang kaum muda desa tidak lari dan terhanyut angin-angin surga merumput di kota secara masif dengan gaji yang lebih besar, banyak hiburan atau pekerjaan mudah, dan lainnya.

Pelatihan SDM desa sesuai dengan potensi dan ketrampilan masyarakat setempat hingga mampu membangun usaha skala produktif meskipun dalam skala rintisan usaha menjadi aksi pertama yang layak digelar. Prinsipnya membuka wawasan baru, bahwa desa sesungguhnya berkemampuan membuat warga tidak lapar dan sanggup memberikan income generating yang tak hanya kesementaraan pendapatan tapi peraihan sumber ekonomi baru sehingga warga berani mengambil keputusan menentukan masa depannya.

Kedua, industrialisasi desa atau mengusung teknologi ke desa. Suka tak suka, desa masih kekurangan teknologi tepat guna untuk mengolah sumberdaya yang ada. Misalnya saja, selama ini sumberdaya kelapa hanya dijual mentah, padahal kala disentuh dengan teknologi tepat guna bisa memberikan nilai tambah yang luar biasa. Mulai dari teknologi tepat guna pengurai sabut kelapa, teknologi pembuatan arang batok kelapa hingga teknologi pembuatan  minyak kelapa. Tentu saja proses-proses bisnis ini akan menekan aktivitas kontra produktif kaum muda desa, dan sudah seharusnya bagi korporasi maupun badan/dinas/lembaga pemerintah terkait tidak pelit berbagi ilmu dan sumber keuangan, sehingga masyarakat desa tidak lagi bergantung kepada pinjaman online maupun ketipu dengan investasi abal-abal yang terus mencari mangsa hingga pedesaan.

Baca juga:  Pawai Semarakkan Puncak HUT Kota Amlapura Ke-382

Ketiga, dengan cara membesarkan BUM desa lewat  dana desa. Kita paham, dana desa bukan dana sapu jagat yang dapat mengubah kemurungan menjadi keriangan dalam semalam. Maka kemudian, pos dana desa itu sebagian bisa dimanfaatkan desa untuk mengurus BUM desa dengan aneka ragam usaha ekonominya.

Jangan sampai justru masyarakat dikendalikan oleh BUM desa lain ataupun sumber ekonomi partikelir yang kelewat mencekik suku bunga pinjamannya. Tak kalah moncernya, yaitu berkolaborasi dengan kampus.

Perguruan tinggi idealnya tidak berjarak dengan masyarakat. Maka ketika desa merasa kesepian atas SDM dan kusutnya nafkah keseharian, kampus tidak boleh tinggal diam, maka kampus dengan segenap keunggulan SDM, ilmu pengetahuan dan teknologi juga pendekatan maupun jejaringnya berkemampuan bekerjasama dengan desa untuk membalik kemiskinan desa. Misalnya melalui program KKN tematik di desa, lewat rekayasa teknologi tepat guna, bisa juga dengan model desa binaan kampus pada desa miskin eksterem atau desa merah di beberapa Kabupaten terdekat.

Baca juga:  Dari Gempabumi Guncang Kuta hingga Poso Diguncang Gempa

Kembali ke Desa Panasea lainnya, yakni lewat model turun gunung. Desa akan merasa tak sendiri, salah satunya saat di desa tersebut diturunkan atau diterjunkan para elit sejak pusat hingga daerah, termasuk para profesor pun bisa diajak turun gunung, peneliti BRIN misalnya atau Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota akan jauh lebih memahami problematika desa kala mereka giat melakukan blusukan ke desa, seperti yang dicontohkan Pak Presiden, Jokowi, bahkan kerap pula pejabat yang rela berkantor di desa untuk mengontrol dan memecahkan PR bangsa di desa.

Selain itu, hal beda perlu ditempuh, seperti memperbanyak event budaya desa. Tak kalah penting adalah membuat beragam event budaya yang bisa dipamerkan oleh desa kepada publik, termasuk pamer kreasi dan inovasi desa. Event demikian akan mendekatkan masyarakat dengan pemerintah desa khususnya dan menggaet kunjungan wisata ke desa.

Tak berlebihan kiranya, ketika pemerintah desa bergerak menghadirkan para best practise. Penting kiranya desa mendatangkan orang-orang sukses untuk berbagi ilmu atau tips maupun strategi bisnisnya. Misalnya, pemuda yang sukses mengelola sayur organik beromset ratusa juta perbulan atau mengelola tepung mocaf yang sanggup mengalirkan pundi-pundi ekonomi yang tak sedikit.

Baca juga:  Siapkah Bali Mengakhiri Restrukturisasi Kredit?

Influenser dari best practise termasuk kalau perlu menghadirkan pula sosok crazy rich maupun para motivator kesohor untuk membangkitkan para pemuda desa agar tidak kandas di tengah jalan. Di samping orang sukses perlu digandeng, nampaknya kita juga butuh sentuhan tangan para Pendamping Desa.

Mereka tak cuma bekerja mendamping praktek pelaksanaan UU Desa, atau bukan sekadar mengurus soal pendapatan masyarakat, lebih dari itu adalah transformasi sosiokultur sesungguhnya di level grassroots. Maka di sini termasuk jangkauannya menjembatani desa ke lembaga teknologi, akses keuangan dan permodalan, networking bahkan hingga production house maupun penetrasi pasar. Jika sudah demikian, desa akan mampu menghidupi warganya tak hanya subsisten tapi kesejahteraan dalam aspek luas dengan mengakhiri gelombang pasang tenaga kerja desa ke kota, apalagi paska lebaran tiba. Maka kemudian tidak ada lagi LDR, desa tak lagi memagut sepi, tapi desa berubah menjadi riang, mandiri, dinamis dan produktif.

Penulis, Kepala UPPD Kabapaten Tegal, Jawa Tengah.

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *