korupsi
Ilustrasi

Oleh Made Gede Arthadana, S.H., M.H.

Warisan adalah perkara yang sangat penting bagi kehidupan di dalam struktur sebuah keluarga. Tidak hanya untuk diri pribadi, melainkan juga untuk anak cucu pada masa mendatang. Meskipun penting, sering kali perihal warisan ini menimbulkan berbagai permasalahan dan tidak heran ada juga beberapa yang putus tali persaudaraannya karena warisan. Hal ini disebabkan karena perbedaan pendapat mengenai kesetaraan dan keadilan.

Hukum kewarisan merupakan hukum harta kekayaan dalam sebuah keluarga, yang karena wafatnya seseorang maka terjadi pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan. Dalam hukum kewarisan mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi peninggalan harta kekayaan/warisan, kedudukan ahli waris, dan perolehan masing-masing ahli waris secara adil.

Frase secara adil harus wajib digarisbawahi karena hal ini penting untuk mencegah adanya oknum ahli waris yang memiliki niat jahat (dolus malus), biasanya ingin menguasai seluruh warisan dari peninggalan si pewaris. Hukum waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yaitu hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata.

Hukum waris adat adalah hukum waris yang diyakini dan dijalankan oleh suku tertentu di Indonesia. Beberapa hukum waris adat aturannya tidak tertulis namun sangat dipatuhi oleh masyarakat pada suku tertentu dalam suatu daerah dan bila ada yang melanggarnya akan diberikan sanksi.

Jenis hukum ini dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan, yaitu : 1. Sistem kekerabatan parental, di mana kedua orangtua maupun kerabat dari ayah dan ibu berlaku peraturan yang sama baik tentang perkawinan, kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Sistem kekerabatan ini terdapat pada masyarakat Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Kalimantan, dan Sulawesi (Makassar). 2. Sistem kekerabatan patrilineal, di mana anak menghubungkan diri dengan kerabat ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara unilateral. Berdasarkan garis keturunan laki-laki dinilai memiliki kedudukan lebih tinggi serta hak-haknya mendapatkan lebih banyak. Sistem kekerabatan ini terdapat pada masyarakat Bali, Rejang, Batak, dan Makassar. 3. Sistem kekerabatan matrilineal. Garis keturunan perempuan/ibu dipandang sangat penting misalnya dalam hal warisan, garis keturunan dari perempuan lebih penting daripada keturunan dari garis bapak/laki-laki. Sistem kekerabatan ini terdapat pada Suku India di Apache Barat, Suku Khasi di Meghalaya, Minangkabau.

Baca juga:  Lindungi Warisan Budaya Bali, Putri Suastini Koster Sambut Baik Rencana Penelitian dan Survei LPPM UNHI

Hukum waris Islam berlaku untuk masyarakat yang memeluk Agama Islam, pembagian warisannya menggunakan prinsip individual bilateral sehingga dikatakan ahli waris harus berasal dari garis ayah atau ibu. Warisan dikatakan harta atau aset bagi yang memberikannya sudah meninggal dunia, namun apabila yang memberikannya masih hidup disebut hibah.

Orang yang menjadi ahli waris harus memiliki hubungan keluarga atau garis keturunan seperti paman, anak, cucu. Hukum waris Islam diterapkan oleh Muslim di Indonesia dan tercantum dalam pasal 171-214 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Hukum waris perdata yang paling umum di Indonesia, warisan dapat diberikan kepada ahli waris yang terdapat dalam surat wasiat atau keluarga yang memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan seperti anak, orangtua, saudara, kakek, nenek hingga saudara dari keturunannya.

Sistem yang digunakan yaitu individual yang berarti setiap individu ahli waris berhak mendapatkan harta warisan berdasarkan bagiannya masing-masing. Sedangkan bila menggunakan surat wasiat maka orang yang berhak menjadi ahli waris hanya yang ditentukan dan tercatat dalam surat wasiat tersebut.

Hukum waris yang diatur dalam burgerlijk wetboek/Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenal hak tiap-tiap waris atas bagian yang tertentu dari harta peninggalan. Segala barang harta peninggalan itu merupakan suatu kesatuan abstrak yang dapat dinilai dengan sejumlah uang yang tertentu banyaknya dan tiap-tiap waktu yang dapat dibagi-bagi dalam pecahan berdasarkan ilmu berhitung menurut perhitungan pada waktu meninggalnya pewaris (arflater).

Baca juga:  Kecenderungan Pragmatisme Politik Indonesia Kontemporer

Pembagian harta peninggalan ini dapat dilakukan dengan jalan membagi barang-barang. Akan tetapi, jika pembagian demikian tidak dapat dijalankan, maka pembagiannya dilakukan dengan cara pembagian sejumlah uang yang akan diterima apabila barang-barang harta peninggalan itu dijual. Tentunya dalam hal ini harus diadakan rapat keluarga terlebih dahulu dan tidak boleh dilaksanakan secara sepihak atau hanya untuk beberapa kelompok yang berkepentingan.

Sebelum membagi warisan dari pewaris kepada ahli waris, penulis ingin mengingatkan hal yang penting untuk disimak, maka agar pewarisan dapat terlaksana diperlukan unsur-unsur pokok dalam hukum waris, yaitu ; 1. Ada pewaris (pewaris merupakan orang yang memberikan warisan. Pemberian tersebut tidak hanya berupa harta, melainkan ada peninggalan berupa utang dan berbagai kewajiban lainnya kepada ahli waris), 2. Terdapat harta warisan, 3. Adanya ahli waris (tentunya seseorang yang memiliki hubungan darah dengan pewaris). Penerima waris golongan I adalah anak-anak dan pasangan sah dari pewaris, dalam hal ini bahwa harta yang diberikan bersifat mutlak atau tidak bisa dipindahtangankan ke pihak kedua selama ahli waris masih hidup.

Penerima waris golongan II adalah bapak, ibu, atau saudara kandung dari pewaris, dan ahli waris ini bisa mendapatkan bagian jika penerima waris golongan I tidak ada. Penerima waris golongan III adalah kakek dan nenek dari keluarga bapak atau ibu kandung pewaris.

Baca juga:  Sedana Arta Nyoblos Bareng Keluarga di TPS 005 Sulahan

Mereka berhak memperoleh harta waris ketika penerima waris golongan II mengesampingkan atau tidak ada. Dan, penerima waris golongan IV adalah keluarga kandung dari orangtua pewaris, seperti paman dan bibi. Penerima waris golongan IV menerima warisan jika penerima waris golongan III tidak ada atau mengabaikan.

Dari pemaparan yang sudah diuraikan oleh penulis, maka dapat penulis sampaikan secara teori hal tersebut sangat baik dan relevan, namun kita tidak pernah mengetahui hal seperti apa yang akan terjadi pada saat pembagian warisan dari orangtua kandung. Yang sangat mudah dan tidak menguras pikiran dan tenaga adalah apabila pewaris hanya memiliki satu ahli waris (dalam hal ini anak tunggal/semata wayang), namun akan menjadi persoalan yang justru akan menguras pikiran, tenaga dan juga batin, yakni si pewaris memiliki banyak ahli waris, maka permasalahan yang akan muncul yaitu perselisihan mengenai harta waris dan pada akhirnya masing-masing dari ahli waris bisa putus hubungan tali persaudaraannya dan bahkan bisa sampai menular ke anak cucunya.

Kita juga perlu mengetahui seseorang ahli waris dinyatakan tidak berhak menerima warisan apabila mencoba melakukan pembunuhan terhadap pewaris; menghalangi pewaris untuk membuat surat wasiat mengenai warisan atau mencabutnya dengan sewenang-wenang hingga timbul tindak kekerasan; merusak, memalsukan atau menggelapkan surat wasiat; serta pernah melakukan fitnah oleh pewaris satu terhadap pewaris lainnya.

Maka dari itu, hendaknya pada saat pembagian warisan dalam sebuah keluarga besar perlu diadakan rapat secara bersama antara pewaris dengan para ahli waris, dari anak tertua hingga terkecil, mengingat sering terjadinya perselisihan antarsaudara.

Penulis, alumni Magister Ilmu Hukum Program Studi  Hukum dan Masyarakat Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *