Suasana sidang kasus LPD Desa Adat Serangan, yang memeriksa empat saksi di Pengadilan Denpasar pada 20 September 2022. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejari Denpasar, Catur Rianita Dharmawati, I Ketut Kartika Widnyana dkk., Selasa (20/9) menghadirkan dua terdakwa kasus dugaan korupsi LPD Serangan ke Pengadilan Negeri Denpasar. Agendanya adalah pembuktian. Duduk sebagai terdakwa Kepala LPD Desa Adat Serangan I Wayan Jendra dan Tata Usaha LPD Desa Adat Serangan Tahun 2015 sampai dengan tahun 2020 (didampingi kuasa hukumnya) I Made Mastra Arjawa dan Ni Wayan Sunita Yanti (didampingi Putu Angga Pratama Sukma dkk).

Jaksa di hadapan majelis hakim tipikor pimpinan Gede Putra Astawa, menghadirkan empat orang saksi. Mereka adalah kolektor di LPD Desa Adat Serangan, seperti Ni wayan Sasni, Ni Nyoman Sukarini, Ni wayan Darmiati dan Ni Kadek Rina Suriani.

Di depan persidangan, empat kolektor perempuan itu ditanya soal tupoksi, yang kemudian dijawab bahwa salah satunya adalah memungut atau menarik tabungan di masyarakat. “Yang menabung kemudian dapat buku tabungan,” jelas saksi. Diakui mereka, tidak semua nasabah menabung lewat kolektor, namun ada yang datang langsung ke kantor LPD.

Baca juga:  Hilang 1,5 Tahun Lalu, Luh Merta Ditemukan Sudah Berupa Tulang Belulang

Sedangkan yang saksi kumpulkan dari nasabah, kemudian disetor ke kasir LPD untuk dibukukan. Soal kredit, saksi mengatakan di atas Rp 3 juta harus menggunakan jaminan atau agunan. Sedangkan di bawah itu tidak mesti. Namun demikian, kredit harus mendapatkan persetujuan Ketua LPD.

Saat menanyakan soal peran kolektor sebagai juru pungut kredit, hakim sempat menyela supaya JPU fokus pada dakwaannya. Jaksa kemudian menanyakan kondisi LPD, dan permasalahan yang diketahui saksi. Dari sana terungkap bahwa pernah terjadi ada penarikan tabungan nasabah, namun tidak ada uang di LPD. Sehingga ada turun tim audit. “Ada tim audit dari desa, sekitar tahun 2019. Hasil audit, di sistem manual SPJ tahunan ditemukan selih sekitar Rp 3 miliar lebih,” ucap saksi.

Baca juga:  Pembengkakan Proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung Agar Diaudit

Jaksa lantas menanyakan apakah laporan SPJ 2019 diterima oleh desa. Saksi menjawab tidak tahu. Soal I Made Sedana ada tidak minjam? Saksi lama menjawab, namun akhirnya bilang ada. Tapi tidak tau minjamnya ke siapa. Lo, saksi kan kolektor? Tanya jaksa kembali. Namun saksi mengatakan hanya disuruh menagih cicilan. “Berapa sebulan?,” tanya jaksa. Saksi mengatakan sekitar Rp 2 juta lebih. “Tapi tidak setiap hari, namun iti kadang-kadang dibayar. Tapi saya tiap hari ke rumahnya,” jelas saksi.

Saksi juga menyebut ada pengawasan, termasuk dari LPLPD. Namun LPLPD tidak setiap hari melakukan pengecekan. Saat ditanya kas yang ada di LPD, saksi kolektor mengaku tidak tahu. “Saya hanya bertugas memungut, lalu menyetor ke kasir. Jadi ga tau berapa kas dikantor,” jelasnya. Pun saat ditanya soal pengalihan deposito sekitar Rp 3 miliar, saksi juga mengaku tidak tau.

Baca juga:  Sulit Mencari Siswa Tak Lulus

Lantas, soal deposito Agus Merta, saksi juga mengaku tidak tau. Namun dia tahu Agus Merta suaminya Ni Wayan Sunita Yanti. Jaksa mengejar soal gaya hidup Agus Merta. Saksi mengatakan berubah derastis, bermobil, gaya hidup mewah.

Di ujung sidang, terdakwa Jendra diberikan kesempatan menanggapi kesaksian kolektor. Salah satunya soal bonus tahunan Rp 500 ribu untuk kolektor, namun menurut terdakwa Jendra itu tidak ada. Yang ada SHU, keuntungan LPD. “Jadi harus sesuai dengan itu,” katanya.

Soal Agus Merta, Jendra mengaku tidak tahu. Sedamgkan terdakwa Sunita Yanti membantah dirinya bergaya hidup mewah. “Itu apa benar Agus Merta gaya hidup mewah, kehidupannya berubah, dan perkawinna mewah,” kata hakim menirukan kesaksian para saksi. “Itu tidak benar” jawab terdakwa. (Miasa/Balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *