John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Banyak ahli lingkungan hidup sudah berkali-kali mengatakan bahwa, dampak perubahan cuaca terhadap peradaban umat manusia akan jauh lebih mengerikan daripada pandemi Covid-19. Jika tak dibendung, maka kiamat akan benar-benar terjadi dalam waktu tidak terlalu lama lagi.

Musim jadi kacau, angin badai susah diramal, 100 jenis binatang langka punah setiap hari, es di kedua kutub mencair, semua itu merupakan fenomena kasat mata.  Tetapi aneh, manusia bergeming, tidak takut, tidak panik apalagi marah. Apakah setelah wabah ini, manusia kembali cuek terhadap ancaman yang mengerikan ini?

Serangan virus korona membuat seluruh dunia panik. Untuk membendung serang virus ini, manusia mengandalkan protokol pencegahan dengan rajin mencuci tangan, menjaga jarak, mengenakan masker, sambil mengupayakan obat dan vaksin. Tetapi terhadap dampak perubahan cuaca pendekatan kuratif tak bisa diandalkan. Kita hanya mampu mencegah dampak perubahan cuaca dengan cara langkah-langkah preventif.

Untuk mencegah virus korona, orang rela mengurung diri selama berbulan-bulan. Sekolah, pabrik, restoran, tempat wisata dan rumah ibadah menjadi sepi. Tetapi mengapa terhadap perubahan cuaca dengan bukti-bukti yang semakin begitu nyata, pencegahan hanya sebatas retorika dan keterampilan PR di meja perundingan?

Menurut hemat penulis, tanggapan yang lemah terhadap persoalan krisis ini berkaitan dengan teori motivasi Abraham Maslow (1908-1970) yang dikenal sebagai Hirarki Kebutuhan (Hierarchy of Needs). Di dalam teorinya, Maslow menjelaskan lima tingkat kebutuhan manusia dalam sebuah model piramida.

Baca juga:  Wajah Perekonomian dan Kesejahteraan Bali

Mulai dari motivasi pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) seperti oksigen, air, sandang, pangan dan papan; kebutuhan akan rasa aman seperti terlindung dari bahaya perang, kekerasan, dan terorisme; kebutuhan akan rasa cinta yang diperoleh melalui persahabatan dan keluarga; kebutuhan akan penghargaan seperti status sosial, pengakuan dan reputasi; dan yang terakhir, pemenuhan terhadap kebutuhan akan aktualisasi diri.

Selama ini isu-isu lingkungan hidup seperti perubahan cuaca, dan pemanasan global dikampanyekan oleh kaum selebriti dan para tokoh politik seperti Leonardo di Caprio, Al Gore, Elon Musk, dll. Kelompok the happy few ini telah berada pada puncak piramida kebutuhan Maslow, yakni aktualasi potensi diri.

Berbeda dengan sebagian besar umat manusia. Saat ini ada sekitar 900 juta penduduk dunia hidup dengan pendapatan kurang lebih US $ 2 per hari. Artinya, untuk pemenuhan dasar saja mereka belum mampu. Kira-kira 7 persen penduduk dunia terperangkap dalam kondisi keuangan yang rapuh; 230 juta anak di dunia tidak bersekolah dan sedikitnya 1,2 miliar. Jumlah tersebut berlipat ganda di masa pandemi.

Dengan perkataan lain, sebagian besar penduduk bumi sedang berkutat dengan berbagai persoalan kebutuhan fisik, keamanan, dan psikologis. Perubahann cuaca dianggap sebagai persoalan yang  jauh karena tak langsung menyentuh kehidupan sehari-hari.

Baca juga:  Tiga Lansia di Tabanan Meninggal Akibat COVID-19, Ini Rincian Asalnya

Lagi pula, belum ada korban yang berjatuhan seperti korban Covid-19. Garis pantai masih ada. Kalau terjadi perubahan, katakanlah suhu bumi naik 1,5 derajat itu wajar. Dari dulu perubahan selalu terjadi, tak ada yang bisa mencegahnya. Bumi memiliki cara sendiri untuk mengatasinya. Bagaimana mengajak seorang tukang ojol, supir taksi, atau seorang nelayan agar prihatin dan turut memikirkan isu perubahan cuaca kalau setiap hari kelompok ini masih berjibaku  memenuhi berbagai kebutuhan dasar?

Solidaritas Global 

Hasil penelitian sains, tak harus menjadi acuan sikap, ketika di belakangnya terdapat kepentingan tertentu. Dengan demikian, mungkin saja isu perubahan iklim sengaja dihembus oleh negara-negara maju, untuk menguasai negara-negara lemah. Maka integritas sains pun dipertanyakan ketika berkolaborasi dengan politik. Bukan mustahil bila isu perubahan cuaca itu dicurigai sebagai bentuk konspirasi internasional.

Tiga puluh tahun lamanya, resolusi Paris Agreement hanya sebatas retorika. Bank dunia mengeluarkan dana US 67 Triliun untuk pengurangan bahan bakar fosil, tapi prakteknya nol. Hingga masa sebelum pandemi Covid-19, setiap hari 100 juta barel minyak bumi dikonsumsi dunia. Ada 100 perusahaan di dunia menghasilkan emisi gas rumah kaca dan negara-negara G-20 menyumbang 80 persen total emisi global.

Baca juga:  Pandemi Diprediksi Berkepanjangan, Indonesia Mulai Pertimbangkan Vaksinasi Dosis Empat

Siapakah yang seharusnya bertanggung jawab, manakala dalam hal perubahan cuaca, setiap negara menganut prinsip me first? Padahal banyak ahli mengingatkan, tanpa sikap nyata, planet ini akan segera musnah bersama seluruh penghuninya. Lantas apa solusinya? Menurut penulis, saat ini dunia butuh seorang pemimpin dunia yang dapat menggalang persatuan seluruh umat manusia untuk mengantisipasi krisis yang jauh lebih besar di masa depan. Krisis Covid-19 seyogianya menjadi momentum untuk membangun solidaritas antar umat manusia. Berbagai intrik politik global harus dihentikan demi masa depan bersama.

Pandemi korona mengingatkan bahwa seluruh umat manusia sama rentannya. Kita semua berada di dalam perahu yang sama (in the same boat). Bahkan negara yang dianggap terkuat seperti AS pun ternyata kelimpungana juga. Benar kata Nelson Mandela, ‘bumi ini mampu memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tak mampu memenuhi keinginan segelintir orang serakah.’ Umat manusia di era tatanan dunia baru harus hidup dalam semangat ini. Mengabaikan satu negara, berarti mengabaikan keselamatan kita semua. Persoalan suatu atau dua negara menjadi persoalan kita bersama.

Penulis, Pemerhati Isu Lingkungan Hidup, Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *