Dua petani sedang berjalan di lahan pertanian yang berlokasi di Denpasar. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Krisis pangan telah terjadi di sejumlah negara. Untuk menjaga ketahanan pangan, lahan tidur sebaiknya mulai dimanfaatkan untuk pertanian. Demikian dikemukakan Guru Besar Pertanian Unud, Prof. Wayan Windia, Selasa (21/6).

Ia mengatakan karena sektor pertanian tidak menarik, petani ramai-ramai menjual sawahnya. Data di Pemda Bali mencatat, bahwa sebelum COVID-19, rata-rata sawah di Bali terkonversi lebih dari 2.000 ha per tahun.

“Mungkin di sawah itu, tidak segera didirikan bangunan. Banyak yang dijadikan bahan dagangan dan ajang spekulasi. Sehingga banyak yang berkembang menjadi lahan tidur,” ujarnya.

Dikatakan, wacana untuk memanfaatkan lahan tidur untuk diolah agar lebih bermanfaat, telah lama berkembang. Wacana itu berkembang di ruang-ruang sidang DPR dan juga di berbagai seminar.

Tetapi karena perhatian pemerintah tidak pada sektor pertanian, wacana yang hebat itu, segera menguap ke atas langit. “Harus ada aturan, bahwa lahan yang tidur selama lebih dari 5 tahun, bisa dimanfaatkan oleh publik untuk pertanian selama 25 tahun,” tegasnya.

Baca juga:  Karantina OTG-GR di Hotel Dihentikan Sementara, Kembali ke Isolasi Mandiri

Ia menilai dengan adanya pernyataan Presiden Jokowi untuk memanfaatkan lahan tidur, harus ada langkah kongkretnya. Hal ini disebabkan, ada kekhawatiran baru di kalangan pemerintah tentang permasalahan pangan dan energi.

Contohnya sudah mulai muncul, yakni di Sri Lanka. Negara itu hampir bangkrut, karena permasalahan energi dan pangan. Kalau tidak diantisipasi, efek domino bisa terjadi. “Apa yang dipikirkan Jokowi adalah pikiran yang strategis. Masalahnya, apakah dilanjutkan dengan adanya program untuk memanfaatkan lahan kosong itu. Rasanya lebih efisien dan efektif memanfaatkan lahan tidur untuk pertanian, dibandingkan dengan membuat proyek rice estate (seperti di Kalimantan, red). Karena agroklimat di kawasan lahan tidur itu sudah sesuai kebutuhan, sistem irigasinya masih tersedia, penduduk sekitarnya masih bermental agraris, dan pasarnya sudah ada,” jelas Prof. Windia.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Nasional Masih Tinggi, Korban Jiwa Harian Capai Ratusan

Prof. Windia, mengatakan bahwa program nyata yang tercermin dalam APBN dan APBD untuk mengaktifkan lahan tidur sangat diperlukan. ‘Kalau tidak ada dalam politik anggaran, anjuran Jokowi itu akan hilang bagaikan embun di pagi hari. Tidak ada sektor ekonomi yang berkembang, tanpa ada program yang didukung anggaran di APBN/APBD,” tegasnya.

Ia pun mengingatkan, Pemda harus hati-hati mengorbankan sawah. Jalan tol yang akan dibangun antara Gilimanuk-Mengwi mengorbankan lahan sawah hampir 500 ha (sesuai catatan Walhi Bali).

Kalau hal itu betul-betul terjadi, akan sangat membahayakan ketahanan dan kedaulatan pangan kita di Bali dan Indonesia pada umumnya. Saat ini, Bali sangat tergantung dari produk pertanian dari luar Bali.

Baca juga:  BOR RS Rujukan di Tabanan Penuh, Oksigen Mulai Menipis dan Belasan Nakes Terpapar

Untuk komoditas cabai saja masih didatangkan dari Jatim. “Hal itu memang bisa terjadi. Karena sawah di Bali tidak cukup untuk menunjang ketahanan pangan. Juga Pemda Bali tidak concern pada pertanian,” ujarnya.

Data Bappenas menunjukkan bahwa sejak 2019, lahan sawah di Bali sudah kekurangan sekitar 10.000 Ha, untuk menunjang ketahanan pangannya. Apalagi akan dialihfungsikan lagi untuk pembangunan jalan tol.

Kondisi ini, diingatkannya, bisa berbahaya bagi ketahanan pangan Bali. “Untuk jalan pintas sementara, pemanfaatan lahan tidur memang sengat stratagis. Pemda harus mendukung wacana Jokowi ini, kalau tidak mau dimakan oleh “hantu” krisis pangan,” pungkasnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN