Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Boedi Oetomo, 114 tahun silam telah meletakkan tiga hal besar bagi kebangkitan nasional yakni memerdekakan cita-cita kemanusiaan, memajukan nusa dan bangsa, serta mewujudkan kehidupan bangsa yang terhormat dan bermartabat di mata dunia. Problema ratusan tahun silam pun kini rupanya masih juga masih menyembul, seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan dan sebagainya.

Barangkali, soalan lama itu menganga akibat hantaman pandemi Covid-19 dan bencana di beberapa wilayah di negeri maupun dampak perang Rusia-Ukrania. Turut menyokong atas kusut dan kurusnya kesehatan, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, lingkungan hidup.

Kemurungan ini nampaknya berdampak pada perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam aktivitas sehari-hari. Beberapa kelompok masyarakat terbelah mimpinya, terkoyak akan nasib dan masa depannya, termasuk kalangan disabilitas.

Kawan disabilitas yang tertimpa pemutusan hubungan kerja. Hal ini diperparah dengan ketiadaan skill lain bagi mereka untuk memasuki dunia baru atau tepatnya memulai tahapan baru, seperti tiba-tiba harus menjadi buruh di desa, berprofesi petani, peternak atau sekadar berdagang kecil-kecilan hanya untuk menutup kebutuhan subsisten, makan sehari dua.

Baca juga:  Penataan Ruang Bali Dalam Pembangunan Berkelanjutan

Kepedihan menjalar, kelompok disabilitas yang semula punya usaha tiba-tiba ambruk, atau yang kebetulan terimbas virus pandemi menjadi bahan olokan, bully, penolakan bahkan terpaksa harus mengungsi di tanah sendiri. Terbitnya UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mendorong dan menggerakkan pemangku kepentingan, terutama pemerintah sejak pusat hingga desa dalam memberdayakan kaum disabilitas.

Baru-baru ini di Jawa Tengah, munculnya gerakan bersama bagi para penyandang disabilitas melalui pendataan, perekaman dan penerbitan dokumen kependudukan guna membangun masyarakat inklusif layak kita apresiasi pemerintah sekaligus titik balik perhatian, kepedulian terhadap keberadaan kelompok disabitas. Karena melalui agenda strategis tersebut, para disabilitas bisa mendapatkan dokumen kewarganegaraan, yakni KTP-el maupun KIA (kartu identitas anak).

Pasal 53 regulasi tersebut mewajibkan perusahaan mempekerjakan tenaga kerja difabel sebanyak 1 persen dan bagi pemerintah, pemda, BUMN dan BUMD, sekurang-kurangnya 2 persen dari jumlah pekerja. Oleh karena itu, pemangku kepentingan perlu
terus mendorong BUMD bahkan mungkin bisa
diperluas ke sektor BUMDes untuk memberikan ruang bekerja bagi masyarakat difabel.

Baca juga:  Pesan dari Taman Makam Pahlawan Margarana

Terkait pemenuhan hak-hak masyarakat difabel ini tak sedikit Pemda selalu melibatkan komunitas difabel dalam perencanaan pembangunan daerah. Seperti di Pemprov Jateng, setiap pelaksanaan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dari mulai tingkatan paling bawah hingga tingkat provinsi selalu mengundang komunitas difabel untuk memberikan usulan, masukan dan ide dalam rangka membangun daerahnya.

Juga melibatkan mereka dalam penanganan penanggulangan bencana. Pelibatan dalam respon kemanusiaan, seperti pada pendataan awal longsor, dapur umum banjir, pendataan distribusi bantuan non pangan dan cash transfer, penanganan banjir bandang
beberapa waktu lalu, serta pelibatan dalam berbagai kegiatan pelatihan dan perencanaan penanggulangan bencana. Kalangan difabel juga penting terus didorong untuk berprestasi melalui bidangnya.

Banyak rekan-rekan difabel yang berprestasi olahraga, seperti di ajang Paralimpic Games, PeSONas, Peparnas, pemerintah pusat hingga Pemda memberikan bantuan dana pembinaan yang memadai. Pada aras lain, terdapat sejumlah 40 penyandang disabilitas terdaftar sebagai calon legislatif di Pemilu 2019.

Baca juga:  Seni Menyingkap Realitas

Banyak sekali kita jumpai kawan-kawan difabel yang sukses di berbagai bidang. Ada yang sukses menjadi pengusaha, pebisnis online, menjuarai olimpiade sains, berprestasi di bidang olah raga, ASN, politisi, dan lain-lain. Sebut saja Fanny Evrita Rotua Ritonga, penyandang tuna daksa yang memiliki bisnis produk kecantikan; Angkie Yudistia, seorang sociopreuneur penyandang tuna rungu pendiri Thisable Enterprise (pusat pemberdayaan ekonomi kreatif bagi difabel) yang sukses menjalankan bisnisnya dan sekarang menjadi staf khusus Presiden.

Ada juga Habibie Afsyah yang sukses sebagai pebisnis online, atau Tarjono Slamet yang sukses menjadi produsen aneka mainan edukatif, dan masih banyak contoh lainnya. Mereka bahkan tidak hanya menghidupi diri dan keluarganya, tetapi memberikan kesempatan kerja bagi orang lain.

Yang perlu ditekankan, seorang wirausahawan harus bisa melihat kesempatan, mengubah ancaman menjadi peluang. Selain itu, juga berani mengambil risiko, tetapi risiko yang diperhitungkan, bukan berspekulasi.

Penulis, Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *