Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Gelaran kegiatan G20 yang puncaknya akan berlangsung di Bali pada November 2022 nampaknya memberi dampak signifikan terhadap wajah kota di Bali. Upaya menggenjot pengelolaan sampah kota secara berkelanjutan merupakan salah satu dampak positif bagi lingkungan kehidupan masyarakat Bali.

Aneka program kegiatan mengolah sampah kota secara berkelanjutan dilakukan guna membuat tampilan Bali yang bersih dan hijau, guna menyambut para tamu delegasi negara peserta gelaran kegiatan G20. Semoga wajah Bali yang hijau dan bersih tetap berlangsung meski gelaran G20 nantinya sudah usai.

Di sisi lain, jadwal pilpres, pileg dan pilkada serentak 2024 akan mulai bergulir sejak bulan Juni 2022. Sudah bisa dibayangkan hal ini segera akan diikuti dengan maraknya tebaran aneka Alat Peraga Kampanye (APK) di berbagai sudut kawasan/
wilayah kota. Ironisnya justru tebaran APK sebelum jadwal kampanye tidak bisa ditindak melalui aturan pemilu.

Baca juga:  Mayadanawa dan Penista Agama

Sampah fisik maupun visual di Bali nampaknya sudah mencemaskan banyak pihak. Sampah fisik utamanya yang berasal dari rumah tangga acapkali terbuang secara tidak terkendali. Sedang sampah visual sering
timbul dari alat peraga promosi luar ruang pada suatu kawasan yang terpasang secara serampangan.

Sementara penempatan aneka tiang sarana instalasi jaringan listrik, telepon, televisi kabel, maupun tiang penyangga sarana promosipun juga sering mengabaikan unsur estetika visual sehingga memunculkan sampah visual. Aneka macam tiang
acapkali tertancap secara berjubel pada lokasi strategis, utamanya pada tepian persimpangan jalan.

Bertebarnya sampah fisik di ruang publik tentu dapat memberi dampak buruk bagi pariwisata Bali. Kota/
kawasan akan menampakkan wajah kumuh yang menyesakkan. Demikian juga halnya dengan sampah visual harus ditangani secara konseptual, sekaligus sebagai upaya dalam mengelola wajah arsitektur kota/kawasan.

Baca juga:  Siapkah Bali Menyongsong Era Baru Tanpa Pariwisata?

Sudah seharusnya suatu kota/kawasan dapat tampil
tanpa kumuh meskipun aneka media komunikasi visual ruang publik tetap bertebaran di berbagai sudut kota/kawasan. Demikian juga halnya dengan aneka buangan sampah rumah tangga kota/kawasan dapat tergarap tanpa menimbulkan kondisi kota/kawasan menjadi kumuh.

Penanganan sampah fisik di Kota Denpasar juga disebut sudah memasuki fase darurat (Bali Post,
20/4/2022). Kondisi ini terlihat dari luberan sampah di depo atau tempat pembuangan sampah sementara yang nyaris tidak tertangani.

Dalam hal ini dinyatakan ada faktor kekurangan sarana penanganan sampah. Penerapan perizinan yang ketat dan konsisten terhadap pemasangan sarana promosi/komunikasi ruang luar juga harus
selalu dilakukan.

Berbagai sarana yang tidak memiliki izin, harus secepatnya ditertibkan sesuai peraturan yang ada guna tetap menjaga estetika visual pada suatu kota/
kawasan yang sudah diatur dalam perizinan yang ada. Perlu dibangun kesadaran masyarakat bahwa sampah –fisik maupun visual- adalah masalah kita bersama.

Baca juga:  Tahura sebagai Pariwisata Berbasis Alam

Secara tradisional krama Bali sudah punya cara bijak menangani sampah. Local genius krama Bali sudah mengajarkan bagaimana seharusnya menangani sampah. Tinggal bagaimana implementasinya secara kontekstual sesuai realitas kondisi saat ini.

Pemasangan sarana komunikasi ruang luar yang sembarangan karena hanya sekadar mencari lokasi yang strategis, justru akan menimbulkan sampah visual pada suatu kawasan. Bandingkan dengan
pemasangan penjor atau atribut upakara lain pada saat krama Bali sedang melaksanakan karya, justru keindahan yang muncul dalam suatu kota/kawasan.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *