I Nengah Diuntara. (BP/Istimewa)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Wewidangan Desa Adat Pacung, Kecamatan Tejakula berbatasan dengan garis pantai. Garis pantai ini secara langsung menjadi sumber penghasilan bagi krama desa dengan melakukan aktivitas penangkapan ikan.

Untuk menjaga kelestarian garis pantai itu, prajuru Desa Adat Pacung berkomitmen untuk menjaga kelestarian kawasan laut di wewidangan desa adatnya. Ini dilakukan karena beberapa tahun sebelumnya marak pengambilan batu pantai untuk material bangunan.

Kelian Desa Adat Pacung, I Nengah Diuntara dihubungi, Minggu (6/3) menuturkan, desa adat yang dipimpinnya itu terdiri dari Banjar Adat Kanginan dan Banjar Adat Kawanan. Di dua banjar adat tersebut, terdapat sekitar 300 KK, dengan beragam profesi sebagai mata pencaharian sehari-hari. Krama desa bertanggung jawab atas Pura Kahyangan Tiga yang terdiri dari Pura Desa, Puseh dan Pura Dalem. Selain itu, krama desa juga menjadi pangempon Pura Kahyangan Desa yang terdiri dari Pura Ulun Suwi, Pura Ida Gede, Pura Ratu Ayu dan Pura Gedong Arta.

Baca juga:  Desa Adat Cemagi Jadikan Tari Baris Kelemat sebagai Ikon

Sementara wewidangan desa adat berbatasan dengan Desa Adat Julah di sisi timur. Sebalah selatan dan barat bertetangga dengan Desa Adat Sembiran, Kecamatan Tejakula dan pada sisi utaranya batas wewidangan-nya adalah laut Bali. “Sejak terbentuknya ada dua banjar adat dan desa adat kami ini berbatasan langsung dengan laut Bali di sisi utaranya. Selain menjadi sumber penghasilan krama sebagai nelayan, krama desa kami bertangungjawab untuk menjaga kelestarian laut itu sendiri,” katanya.

Menurut Diuntara, desa adat telah menyatakan komitmennya untuk menjaga kelestarian laut. Ini dilakukan bukan karena laut menjadi ladang bagi krama desa untuk menangkap ikan, namun laut sebagai kawasan yang disucikan. Beberapa tahun sebelumnya, pesisir di desa adat ini marak terjadi pengambilan batu pantai untuk bahan bangunan. Dampak pengambilan material yang masuk golongan C itu dapat merusak kelestarian laut. Tidak ingin terjadi kerusakan yang semakin parah, desa adat kemudian melarang pengambilan batu pantai tersebut. Larangan ini dilakukan bersama instansi terkait di pemerintahan. Kebijakan ini dijalankan sejalan dengan visi misi Gubernur Bali, Wayan Koster lewat Nangun Sat Kerthi Loka Bali (NSKLB) terutama berkaitan dengan “Segara Kerthi”.

Baca juga:  Desa Adat Tegenungan Garap Potensi Desa

“Kami berkomitmen bagaimana menjaga kelestarian laut di wewidangan kami. Caranya kami melarang pengambilan material golongan C. Sejak kebijakan ini kami jalankan bersama pemerintahan, saat ini pengambilan batu pantai mulai berkurang,” tegasnya.

Kebijakan strategis dan sejalan dengan visi misi NSKLB yang juga digaungkan adalah melestarikan warisan kesenian Gambuh. Kebijakan ini dijalankan dengan merangkul siswa dan pemuda desa adat untuk mencintai dan ikut menjadi sekaa gambuh. Pembinaan dan kaderisasi ini dilakukan karena para penabuh dan penari Gambuh saat ini mulai berkurang karena telah memasuki usia lanjut. A

Baca juga:  Desa Adat Bebalang Susun Pararem tentang Rabies

gar kesenian ini tidak punah, pihaknya melakukan pembinaan dan kaderisasi penabuh dan penari Gambuh. Dengan pola itu, pihaknya yakin Tari Gambuh akan tetap lestari. Apalagi, kesenian langka ini wajib dipentaskan setiap desa adat melangsungkan upacara di Pura Ulun Suwi tepatnya setiap Tumpek Landep. “Dengan bantuan Bapak Gubernur kami melestarikan warisan Tari Gambuh ini supaya tidak punah, karena setiap tahun harus dipentaskan saat upacara Tumpek Landep,” tuturnya. (Mudiarta/balipost)

 

BAGIKAN