Prof. Wiku Adisasmito. (BP/Istimewa)

JAKARTA, BALIPOST.com – Negara-negara dengan masyarakatnya yang disiplin protokol kesehatan (Prokes), terlepas kebijakan yang diterapkan, terbukti berhasil melewati gelombang kasus COVID-19 yang diakibatkan varian Omicron. Hal ini terlihat di sejumlah negara-negara di Benua Eropa, Amerika hingga Australia.

Menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito, dalam keterangan persnya, Kamis (17/2), pengalaman negara-negara yang berhasil dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia. “Hal ini menunjukkan bahwa apapun variannya, kebijakannya, dan kondisi kasusnya, protokol kesehatan harus selalu diterapkan dengan disiplin,” kata Wiku.

Secara global, dunia kini menunjukkan tren penurunan sekitar 60% dari puncak gelombang terakhir. Sementara Indonesia kasusnya terus naik hingga hampir 200 kali lipat dari titik terendahnya.

Indonesia selalu mengalami kenaikan saat kasus dunia sudah melewati puncaknya yang berkaitan kebijakan karantina serta entry dan exit test pelaku perjalanan internasional yang ketat. Sehingga Indonesia berhasil menunda importasi kasus lebih lama dibanding negara lainnya.

Lalu, dalam skala benua, negara-negara di Eropa, Amerika Serikat dan Kanada, serta Australia telah melwati puncak kasus dan konsisten menurun kasusnya. Berbeda di benua Asia, sebagian besar tren kasusnya masih naik seperti di Singapura, Malaysia, Thailand, Hongkong, dan Indonesia. Sebagian kecil lainnya telah menunjukkan tren penurunan kasus, diantaranya Jepang dan Filipina.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Nasional Masih di Empat Ribuan Orang

Mencermatinya lagi, negara-negara yang telah melewati puncaknya menunjukkan tren kematian dan perawatan di rumah sakit yang berbeda-beda. Ada 8  negara yakni Denmark, Swiss, Prancis, Jerman, Belgia, Italia, Inggris, dan Amerika Serikat.

Setidaknya ada 3 hal yang menjadi perhatian.

Pertama, kedelapannya mencatat rekor tertinggi melebihi puncak kasus sebelumnya. Kelipatan kenaikannya berkisar antara 3 – 9 kali lipat. Khusus Denmark, menjadi yang tertinggi mencapai 13 kali lipat dari puncak terakhirnya.

Kedua, kematian cenderung lebih rendah pada 6 dari 8 negara dibandingkan pada puncak sebelumnya dengan kisaran angka kematian 50 – 80% dibanding puncak terakhir.

Hanya Denmark dengan angka kematiannya setara dengan puncak sebelumnya. Namun, di Amerika Serikat angka kematiannya justru lebih tinggi 20% dari puncak terakhirnya.

Ketiga, tren perawatan rumah sakit lebih rendah pada 5 dari 8 negara dibanding puncak terakhirnya dengan kisaran angka 30 – 50%. Di Prancis, tingkat perawatan justru sudah setara dengan puncak sebelumnya. Di Denmark dan Amerika Serikat tren perawatan justru mencapai angka tertinggi hingga 2x lipat dari puncak terakhirnya.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Nasional Masih Tambah di Atas 3.000 Orang, Bali Ada di 10 Besar

Lalu, jika dilihat dari kebijakan protokol kesehatan pada 8 negara tersebut, ada keterkaitannya. Terutama, kebijakan memakai masker dan larangan berkerumun. Seperti di Denmark, kenaikan kasusnya yang tertinggi hingga 13 kali lipat. Angka kematian menyamai puncak sebelumnya dan rekor tertinggi pada perawatan di rumah sakit mencapai 2x lipat puncak sebelumnya.

“Denmark situasinya paling signifikan. Nyatanya, jika dilihat dari segi kebijakan dan penerapan protokol kesehatan, bahkan Denmark tidak memberlakukan kebijakan wajib masker dan larangan berkerumun,” lanjutnya.

Amerika Serikat, angka kematiannya lebih tinggi 20% dari puncak sebelumnya dengan perawatan di RS mencapai rekor tertinggi 2x lipat puncak sebelumnya. Meskipun demikian, ternyata kebijakan wajib masker dan larangan berkumpul lebih dari 10 orang tidak terlaksana dengan baik. Terlihat dari banyaknya aksi demonstrasi dan penolakan dari masyarakat, khususnya terkait asas kebebasan.

Hal serupa di Prancis, dengan tren perawatan RS setara dengan pundak sebelumnya. Kebijakan wajib masker dan larangan berkumpul lebih dari 100 orang sudah diberlakukan.

Namun, banyak terjadi aksi turun ke jalan dan penolakan penggunaan masker oleh masyarakat. Sementara, kebijakan 5 negara lainnya dengan wajib masker dan larangan berkumpul, berhasil menekan angka kasus, kematian, dan perawatan di RS.

Baca juga:  PHPU Pemilu, KPU Serahkan Ratusan Alat Bukti

Dari kondisi 8 negara tersebut, dapat diambil kesimpulan, kebijakan protokol kesehatan di Denmark mempengaruhi kasus, kematian dan perawatan di rumah sakit yang meningkat tajam. Namun, kebijakannya yang tidak dijalankan baik seperti di Amerika Serikat dan Prancis, nyatanya dapat memperburuk situasi. Dan, terlepas apapun kebijakannya, faktor kunci keberhasilan pengendalian adalah masyarakat yang dengan kesadaran tinggi menjalankan protokol kesehatan.

Indonesia, harus belajar dari negara-negara tersebut. Pemerintah telah melakukan upaya berlapis yang dirancang semata-mata untuk melindungi rakyatnya. Karenanya masyarakat harus melaksanakan kebijakan protokol kesehatan dengan kesadaran tinggi.

Adanya kebebasan yang melekat pada setiap orang, tidak menjadikannya bebas menempatkan orang lain pada situasi yang berisiko. Hingga mengakibatkan gejala berkepanjangan bahkan menghilangkan nyawa.

“Kebebasan juga tidak berarti kita bebas mengacuhkan keselamatan bersama. Ingat, pembatasan aktivitas yang harus diterapkan ketika kasus melonjak tidak hanya merugikan kita sebagai individu, namun juga menimbulkan penurunan ekonomi negara yang tidak sedikit jumlahnya,” pungkas Wiku. (kmb/balipost)

BAGIKAN