Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Perkembangan musim hujan saat ini tidak lepas dari pengaruh Dampak Perubahan Iklim Global, juga pengaruh kondisi iklim regional dan kondisi iklim/cuaca setempat (lokal).

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan untuk keadaan iklim terkini, BMKG mencatat sebagian besar wilayah Indonesia, yaitu 94 persen dari 342 Zona Musim saat ini telah memasuki musim hujan, seperti yang telah diprediksikan sejak Agustus 2020 lalu, dimana Puncak Musim Hujan diprediksi terjadi pada Januari dan Februari 2021. Bahkan, kemungkinan akan terjadi hingga Maret 2021. “Untuk itu masyarakat tetap perlu terus mewaspadai terjadinya cuaca ekstrem hingga bulan Februari, bahkan masih mungkin terjadi pula hingga bulan Maret 2021 nanti,”tandasnya.

Dikatakan, dari faktor-faktor pengendali iklim di wilayah Indonesia, saat ini yang sedang aktif berpengaruh adalah Monsoon Asia serta Daerah Konvergensi Antar Tropis (ITCZ) atau Zona Pertemuan Angin dari arah Asia dan dari arah Australia yang memperlihatkan anomali yang mengarah pada penguatan curah hujan tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia. Fenomena La Nina saat ini juga masih aktif dengan Indeks moderat yang mengarah ke kondisi lemah dan diprediksi menjadi normal pada bulan Mei 2021.

Baca juga:  Antisipasi La Nina, Sungai di Denpasar Dibersihkan

Bahkan, MJO yang merupakan pergerakan kumpulan awan-awan hujan dari Samudra Hindia sebelah Timur Afrika yang saat ini sedang melintasi wilayah Indonesia menuju Samudra Pasifik, juga berpengaruh dalam meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia. Apalagi, analisis data iklim menunjukkan variabilitas spasial hujan cukup tinggi di wilayah Indonesia. Walaupun saat ini disebagian besar wilayah Indonesia berada pada periode curah hujan tinggi, namun beberapa wilayah tercatat mengalami curah hujan kriteria rendah.

Baca juga:  Emansipasi, Perempuan Tak Lagi Jadi Penonton di Dunia Bisnis

Deputi Bidang Meteorologi, Guswanto menambahkan, peningkatan trend curah hujan ekstrem ini selain dipicu oleh fenomena dan/atau gangguan skala iklim, dikaitkan juga sebagai dampak perubahan iklim. “Dari pengamatan BMKG walaupun curah hujan berada pada tingkat sedang, namun masih berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi. Hal ini tergantung pada daya dukung lingkungan dalam merespon kondisi curah hujan,”tandas Guswanto.

Misal, jika terjadi banjir bandang, dikarenakan adanya tumpukan endapan longsor yang masuk ke lembah sungai dan juga adanya sisa-sisa penebangan pohon dibagian hulu, yang dapat menahan/membendung air. Jika hujan terus berlangsung, kemudian akan menjebol bendung tumpukan endapan longsor dan ranting kayu tersebut, sehingga endapan dan ranting kayu hanyut dengan kecepatan tinggi, mengakibatkan banjir bandang di bagian hilirnya.

Baca juga:  BMKG Catat Gempa Susulan di NTT Sudah Belasan Kali

Demikian pula banjir dan genangan, selain akibat curah hujan tinggi, juga dapat diakibatkan kondisi permukaan yang tidak mendukung air meresap ke dalam tanah atau mengalir dengan cepat ke saluran-saluran yang semestinya.

Lebih lanjut dikatakan, kondisi dinamika atmosfer yang tidak stabil dalam beberapa hari ke depan dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan awan hujan di beberapa wilayah Indonesia. Apalagi, ditambah dengan kombinasi antara MJO, gelombang Rossby Ekuator, gelombang Kelvin, dan gelombang _Low Frequency_ di wilayah dan periode yang sama yakni di Laut China Selatan, Samudera Pasifik utara Papua, Samudera Hindia barat Lampung hingga selatan NTT, sebagian besar Jawa, Bali, NTT bagian barat, Laut Bali, Laut Sumbawa, mampu meningkatkan aktivitas konvektif dan pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut. (Winata/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *