Suasana FGD Tanggap COVID-19 yang digelar Rabu (27/1). (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) terus diperpanjang hingga 8 Februari. Sudah dipastikan, PPKM berdampak pada pelaku usaha di Bali. Kendati demikian, mau tidak mau, para pelaku usaha wajib mendukung PPKM meski mereka sejatinya sudah “berdarah-darah”.

Pengusaha senior Panudiana Kuhn mengatakan, dampak pandemi hampir setahun dirasakan pelaku usaha. Namun, ia mengingatkan pengusaha bahwa PPKM adalah waktunya tahan diri dan prihatin. “Kita memilih dua-duanya, kesehatan bagus, bisnis bagus. Sementara bisnis berkorban dulu,” kata Panudiana Kuhn pada Focus Group Discussion (FGD) Tanggap Covid-19, Rabu (27/1).

Panudiana Kuhn mengatakan, bisa dibayangkan kerugian yang dialami Bali dengan revenew Rp 10 triliun sebulan sehingga dalam setahun Rp 120 triliun. Kerugian ini berdampak pada pekerja di sektor swasta. “Tapi bagaimanapun juga pengusaha harus mendukung PPKM,” tegasnya.

Panudiana Kuhn mengakui, PPKM membuat banyak pengusaha tidak mampu bertahan meski masih ada juga yang mampu bertahan. Namun, adanya bantuan dan relaksasi dari pemerintah dinilai cukup membantu. “Dulu ekspor kita bagus, sekarang sudah menurun, tekstil, handicraft berkurang. Ketika ekspor hasil laut bagus, saat pandemi terganggu pengirimannya,” ujarnya.

Baca juga:  Hipkar : Ada Pengusaha Ditawari Kredit untuk Bayar Tunggakan Bunga

Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Bali A.A. Ngurah Agung Agra Putra mengatakan, PPKM yang semula dibatasi pukul 21.00 WITA menjadi pukul 20.00 WITA tentu akan berdampak pada peritel karena pembatasan jam operasional. Sementara peak hour peritel adalah pukul 18.00 Wita sampai pukul 21.00 Wita dan 50% – 60% omzet peritel ada di rentang waktu tersebut.

Selain itu, kata dia, PPKM juga mempengaruhi psikologi customer yang awalnya mulai berani datang berbelanja, sekarang mulai membatasi diri lagi. Dengan pembatasan work from office (WFO) 25 persen juga akan berpengaruh pada peritel karena tidak semua aktivitas ekonomi bisa dilakulan WFO, sehingga mengurangi pendapatan pekerja akibatnya daya beli turun. “Mengingat di Bali tidak ada industri, dari sisi supply barang didukung dari Pulau Jawa. Pemerintah telah menjamin kelancaran distribusi barang. Namun yang menjadi kendala adalah kapasitas produksi yang turun akibat adanya pembatasan WFO hanya 25 persen,” katanya mengingatkan.

Baca juga:  Dua Penyalahguna Narkoba Ditangkap

Menurut Agra Putra, di Bali konsumsi fast moving consumer goods (FMCG) yang merupakan barang-barang kebutuhan masyarakat pertumbuhannya -21%. Hal ini menunjukkan penurunan daya beli masyarakat karena selama 10 bulan pandemi, pendapatan masyarakat turun bahkan tidak ada.

Pada quartal I/2020 di Bali terjadi pertumbuhan tinggi pada FMCG yaitu 15%-20% karena terjadi panic buying, dan adanya perayaan Nyepi. Dengan diberlakukannya PPKM kedua kalinya, diprediksi pelaku usaha ritel mengalami penurunan pendapatan 20% dari kondisi normal saat pandemi.

Sehingga triwulan I 2021 diprediksi akan terjadi pertumbuhan minus lebih tinggi lagi dibanding triwulan I tahun sebelumnya pada lapangan usaha perdagangan ini. “Yang terjadi akan lebih banyak lagi toko-toko yang tutup. Meski demikian, PPKM mau tidak mau tidak mau harus dijalankan peritel namum perlu evaluasi agar tujuan bersama tercapai,” katanya.

Baca juga:  Cek Pengamanan di Gilimanuk, Ini Permintaan Wakapolda

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali Pande Agus Permana Widura mengatakan, pengusaha yang tergabung di Hipmi kebanyakan UMKM. Dengan adanya PPKM cukup berimbas pada UMKM karena 78% pariwisata berkaitan dengan pariwisata. Dikatakan, PPKM adalah dua sisi persaingan antara perekonomian dan kesehatan. “Saya berharap dua sektor ini dapat berjalan beriringan tanpa ada salah satu yang terpuruk,” ujarnya.

Agus Permana Widura menambahkan, di Bali pertumbuhan ekonomi – 12,28%. Jika kondisi ini berlangsung lama, ia khawatir akan lebih terpuruk lagi dibanding daerah lain. Tidak bisa dipungkiri selama pandemi terjadi transformasi bisnis pada UMKM.

Ketika hampir sebagian besar lapangan usaha berhubungan dengan pariwisata terpuruk, akhirnya mereka mencari solusi menjualnya pada segmen yang tidak langsung berhadapan dengan pariwisata. “Namun jika transformasi bisnis ini dilakukan tanpa persiapan yang matang, maka akan sangat berbahaya,” katanya mengingatkan. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *