Buah kopi yang sudah merah siap dipanen. (BP/Dokumen)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Musim panen kopi di Kabupaten Buleleng diperkirakan mulai Agustus 2020 ini. Mendekati masa panen itu harga jual kopi di pasar umum sekarang malah merosot.

Hal ini pun membuat petani resah. Pasalnya jika situasi ini berlangsung sampai puncak masa panen, keuntungan yang diperoleh tidak akan optimal.

Sebagian besar kebun kopi saat ini sudah siap panen. Bahkan, di beberapa lokasi seperti di Desa Pucak Sari, Kecamatan Busungbiu, biji Kopi Robusta sebagian besar sudah merah yang mendadakan biji kopi sudah bisa dipetik. Petani di desa ini sudah mulai melakukan panen awal.

Salah seorang petani yang juga menjabat Direktur Perusahaan Daerah (PD) Swatantra Buleleng, Gede Bobi Suryanto menceritakan, dari segi kualitas kopi yang akan dipanen tahun ini tergolong bagus dibandingkan musim panen tahun sebelumnya. Sedangkan dari segi budidaya, pada musim panen ini sebagian besar tanaman berbuah lebat.

Baca juga:  Harga Bunga Gumitir Tembus Rp 40 Ribu

Itu artinya, produksi dipastikan akan terdongkrak pada musim panen ini. “Tadi saya sudah petik di Kebun Desa Pucak Sari, secara budi daya tanaman bebruah lebat dan kualitas kopi kita di Buleleng sangat bagus,” katanya.

Hanya saja, menjelang masa panen, Bobi menyebut harga mulai merosot. Dia mencontohkan, untuk biji kopi gelondongan basah harganya Rp 4.000 per kilogram. Sedangkan, untuk kopi OC (kopi yang sudah dikeringkan), harganya maksimal Rp 18.000.

Baca juga:  Awal Musim Panen, Harga Kopi Naik Tiga Kali Lipat dari Periode Sebelumnya

Demikian juga untuk harga kopi olahan untuk memenuhi pasar luar negeri harganya bervariasi mulai Rp 22.000 smapai tertinggi Rp 24.000 per kilogram. Perkembangan harga kopi seperti itu, diakuinya tergolong murah.

Bahkan, harga itu masih jauh di bawah Harga Pokok Produksi (HPP). Dia pun menghitung secara global, kalau petani menjual kopi dengan harga Rp 18.000 per kilogram, keuntungan bersih yang didapat petani Rp 7.000 tiap kilogram atau sekitar 35 persen. “Sangat murah dan jauh dari HPP, apalagi petani harus mengeluarkan biaya petik sebesar 30 persen, pemeliharaan 30 persen, biaya lain-lain 5 persen, maka tinggal 35 persen saja,” katanya.

Baca juga:  Dalam Beberapa Tahun Terakhir, Harga Kopi di Kintamani Alami Kenaikan Tertinggi

Menurut Bobi, merosotnya harga kopi menjelang musim panen diprediksi karena berbagai hal. Salah satunya adalah dampak wabah pandemi COVUD-19. Permintaan kopi dari buyer baik dalam negeri dan asing belum ada masuk ke Tanah Air.

Selain itu, dirinya menilai mulai ada permainan harga dari tengkulak di daerah. “Saya kira beberapa faktor pemicunya, yang pertama sudah pasti karena Virus Corona ini membuat pembeli besar belum berani memesan, termasuk permintaan kopi ekspor belum ada masuk ke negara kita. Tetapi ada faktor lain di mana tengkulak ini mulai memainkan harga, sehingga harga melorot seperti sekarang ini,” tegasnya. (Mudiarta/bali post)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *