Suasana talkshow Merah Putih yang digelar Rabu (3/6) membahas tentang penerapan "New Normal Life di Tengah Masyarakat Heteronom." (BP/win)

DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana new normal life atau di Bali dikenal dengan istilah kehidupan era baru terus mengalir di tengah pandemi COVID-19. Sementara para ahli berupaya keras menemukan vaksinnya.

Di Indonesia, Presiden Jokowi mengajak masyarakat hidup berdamai dan berdampingan dengan COVID-19. Oleh karena itu, perlu penumbuhan kesadaran diri masing-masing individu masyarakat Indonesia untuk mengimplementasikan ajakan new normal life tersebut.

Mengingat, sebagian besar masyarakat kita masih heteronom, yaitu melakukan sesuatu karena disuruh atau dipaksa oleh orang lain atau suatu peraturan, bukan karena kesadaran sendiri (otonom). Salah satunya, mengikuti dan melaksanakan protokol kesehatan secara ketat. Termasuk Bali, meskipun telah mendapat apresiasi dalam penanganan pandemi COVID-19.

Ketua Pusat Penelitian Kesehatan Masyarakat Unud Dr. dr. Made Ady Wirawan, M.PH., Ph.D. mengatakan, kehidupan kenormalan baru atau new normal life merupakan upaya yang tengah ditargetkan pemerintah menuju kehidupan normal yang sesungguhnya. Padahal, sesungguhnya kehidupan new normal telah dilakukan sejak munculnya pandemi COVID-19, yaitu dengan physical/social distancing dalam tatanan individu dan keluarga sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Corona.

Untuk melonggarkan kebijakan physical/social distancing dalam menyambut kehidupan new normal, katanya, ada enam syarat minimal yang harus dipenuhi. Pertama, transmisi lokal harus terkontrol. Di Bali, sejak pertama kali muncul kasus pasien positif Covid-19 (11 Maret 2020), hingga saat ini laju transmisi lokal masih terjadi. Meskipun, reproduksi efektifnya di bawah satu kasus (satu pasien positif Covid-19 hanya bisa menularkan ke 0,72 kasus).

Baca juga:  Sejumlah Destinasi Wisata di Gianyar Tak Penuhi Syarat Sertifikasi Era Baru

Namun, dua minggu terakhir transmisi lokal mengalami peningkatan, terutama di Kota Denpasar. Sehingga penerapan new normal life perlu dipikirkan lebih matang lagi. “Transmisi lokal jika dilihat dari indikator tersebut (reproduksi efektif – red) berarti belum terkontrol sepenuhnya. Meskipun sudah di bawah satu, tetapi kita lihat apakah kasus yang dilaporkan itu kasus yang sebenarnya yang terdeteksi atau tidak, sehingga kita harus berhati-hati mengatakan transmisi lokal itu sudah terkendali,” ujar Ady Wirawan pada Talkshow Merah Putih “New Normal Life di Tengah Masyarakat Heteronom,” di Warung 63 Denpasar, Rabu (3/6).

Syarat kedua, yaitu kapasitas layanan kesehatan. Ady Wirawan mengatakan, saat ini Bali telah mampu menyiapkan RS rujukan COVID-19 dengan kapasistasnya memadai dan terkontrol. Syarat ketiga, yaitu risiko outbreak atau wabah di-setting khusus di RS atau pusat-pusat perawatan lansia.

Dikatakan, Bali belum berisiko terjadi outbreak, seperti di Surabaya. Namun, tenaga medis harus tetap di-support dengan APD yang standar, sehingga tenaga medis tidak terpapar COVID-19. Karena belakangan ini beberapa tenaga medis di Bali sudah ada terinfeksi COVID-19.

Syarat keempat, yaitu kasus impor (imported case) harus terkontrol dengan baik. Kelima, pintu-pintu masuk Bali harus dijaga dengan ketat, sebab dua daerah tetangga (Jawa Timur dan NTB) berpotensi menjadi episentrum baru penyebaran COVID-19.

Syarat terakhir, yaitu edukasi tentang COVID-19 harus berjalan dengan baik. Dikatakan, komunitas di Bali sudah teredukasi dengan baik. Meskipun angka pastinya belum diketahui secara riil. “Kalau melihat dari enam syarat minimal tersebut, sebetulnya Bali belum siap menerapkan kehidupan new normal. Namun, syarat itu harus disiapkan kalau mau beranjak, karena kita tidak mungkin juga berlama-lama hidup dalam situasi seperti saat ini. Kuncinya, masyarakat harus lebih disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan COVID-19,” tegas Ady Wirawan.

Baca juga:  Dwikora Jadi Pengurus Pusat, Dira Arsana Jabat Plt. Ketua PWI Bali

Sementara itu, Guru Besar Unhi Denpasar Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna, M.S. mengatakan, apabila kehidupan new normal diperluas maka kita harus mempunyai komitmen untuk memperkuat disiplin diri. Sebab, tanpa disiplin diri, apa pun prosedur atau standar-standar yang dianjurkan oleh pemerintah maupun badan-badan kesehatan tidak akan ada artinya. Oleh karena itu, kedisiplinan diri menjadi kunci untuk menuju kehidupan era baru.

Dalam kultur masyarakat Hindu di Bali, kata Yudha Triguna, COVID-19 adalah destimaya (sesuatu yang tidak baik dan tidak tampak) yang diidentifikasikan dengan satepung pinara yuta (satu tepung dibagi satu juta). Karena kita menghadapi musuh yang tidak tampak dan sangat kecil (COVID-19), maka peran pemerintah dalam mengarahkan masyarakatnya menjadi penting.

Namun, yang lebih penting adalah disiplin diri masing-masing individu masyarakat. Sebab, apabila masyarakat tidak disiplin apa pun yang diarahkan pemerintah hasilnya tidak akan optimal.

Apalagi berkaitan dengan virus, sehingga penekanan pengobatannya juga berkaitan dengan langkah-langkah antisipasi virus. Dalam Hindu, dikatakan, bahwa jenis penyakit ada tiga sumber, yakni Adhi Daiwika Dukha, yaitu sakit yang bersumber dari spirit, Tuhan, dan leluhur.

Baca juga:  Piagio Hadirkan Vespa GTS Terbaru di Bali, Ini Spesifikasinya

Adhiatmika Dukha, yaitu sakit yang bersumber dari pikiran atau psikis atau mental, dan Adhi Bhautika Dukha yaitu sakit yang bersumber dari virus, bakteri, dan lain-lain. Oleh karena itu, COVID-19 ini merupakan penyakit yang berasal dari virus, sehingga langkah-langkah penanganannya berhubungan dengan Adhi Bhautika Dukha.

Caranya, yaitu menjaga jarak (physical/social distancing), mencuci tangan sesering mungkin, menggunakan masker, dan selalu berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). ‘’Bukan berarti kita umat Hindu tidak boleh ngaturang pejati atau protektif yang lain, namun disiplin diri dalam menerapkan protokol kesehatan COVID-19 sesuai anjuran pemerintah harus kita jalankan seoptimal mungkin. Apalagi, Hindu mengatakan manusia beragama itu adalah berpraktik disiplin,’’ tegasnya.

Yudha Triguna menambahkan, dalam mengambil sebuah kebijakan, pemerintah juga harus mementingkan dua belah pihak dan tidak boleh memaksakan kehendak kepada masyarakat. Meskipun, masyarakat Indonesia akan mematuhi sepenuhnya kebijakan yang diputuskan pemerintah (paternalistik). Padahal, perilaku otonom juga sangat penting diterapkan masing-masing individu dalam menghadapi pendemi COVID-19.

Dalam Hindu ada yang disebut dengan Ahara, yaitu makan yang sehat bersumber dari sato pramana. Nindra, yaitu istirahat yang cukup (7-8 jam sehari). Wihara, yaitu hidup sederhana, bergerak, dan berolahraga (yoga), serta berlatih berpikir positif. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *