Prof. Dr. I Made Bandem. (BP/Ist)

DENPASAR, BALIPOST.com – Salah satu dari 44 Tonggak Peradaban Penanda Bali Era Baru sebagai tanda pencapaian pembangunan Bali di bawah kepemimpinan Gubernur Bali, Wayan Koster bersama Wakil Gubernur (Wagub) Bali, Tjok Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) adalah penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali. Bahkan, kebangkitan kembali puncak peradaban dan keadaban budaya Bali telah dikonsepkan melalui pembangunan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung yang akan menjadikan Bali sebagai Padma Bhuwana atau Pusat Peradaban Dunia.

“Sebagai anggota masyarakat dan seniman Bali saya memuji dan mengapresiasi setinggi-tingginya pencapaian yang diperoleh oleh Gubernur Bali, Wayan Koster di bidang pebangunan fisik maupun spiritual lewat kebijakan “Nangun Sat Kerthi Loka Bali.” Empat tahun hasil kepemimpinan beliau (Gubernur Koster, red) telah disampaikan di hadapan ribuan massa di Taman Budaya Bali, 30 Desember dengan judul pidato 44 Tonggak Peradaban Penanda Bali Era Baru yang disambut antausias oleh masyarakat,” ujar Budayawan Prof. Dr. I Made Bandem.

Prof. Bandem mengatakan salah satu Perda yang dihasilkan Gubernur Koster yaitu Perda Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan Pemajuan Kebudayaan Bali. Perda ini merupakan reralisasi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, dimana Wayan Koster sebagai Anggota DPR-RI yang dominan kontribusinya. Ada 5 program utama yang terdapat di dalam Perda Nomor 4 Tahun 2020 ini, yaitu Pesta Kesenian Bali (PKB) Festival Seni Bali Jani, Festival Jantra Tradisi, Bulan Bahasa Bali, dan Bali Word Culture Celebratioan.

Ia menilai bahwa Gubernur Koster telah benar-benar menghidupkan kembali PKB, yaitu dengan menekankan programnya pada seni tradisi Bali, terutama pada seni-seni klasik yang menjadi dasar penciptaan seni modern. Sebanyak 250 acara yang ditampilkan dalam PKB yang berlangsung selama 1 bulan, termasuk Peed Aya sebagai penanda Pembuakaan PKB setiap tahunnya. PKB diposisikan oleh Gubernur Bali sebagai membangun kantong-kantong kebudayaan Bali dengan kebijakan pembangunan horizontal dan vertikal, pemerataan dan peningkatan mutu.

Sementara itu, Festival Seni Bali Jani yang diciptakan Ny. Putri Suastini Koster telah berlangsung selama 3 kali dan mulai mengukuhkan dirinya sebagai perhelatan generasi muda dengan menampilkan berbagai ragam seni modern. Seperti, musik, tari, teater, baca puisi, dan dialog seni modern. Festival Seni Bali Jani juga memberikan penghargaan kepada pencipta dan pengkaji seni modern degan sebuah penghargaan yang dinamakan Bali Jani Nugraha. Penerima penghargaan disyaratkan untuk menulis buku, sehingga memastikan yang menerima penghargaan akan memiliki legasi tertulis. Hal ini sangat penting agar generasi berikutnya memperoleh bahan penciptaan dan kajian seni modern.

Baca juga:  Ruang Publik Era Baru

Lebih lanjut Prof. Bandem mengatakan bersamaan dengan berlangungnya PKB tahun lalu, Pemerintah Provinsi Bali untuk pertama kalinya melaksanakan Bali World Culture Celebration (BWCC). Festival ini diikuti oleh 3 grup dari Bali dan 20 grup dari mancanegara.

Festival yang sebagian dilakukan secara daring memperoleh tanggapan sangat positif dari peserta luar negeri dan meyakini bahwa Bali bisa menjadi “Pusat Kebudayaan Dunia.” Selain penampilan berbagai bentuk seni dunia itu, BWCC juga melaksanakan cultural dialog yang diikuti oleh akademisi dunia, seperti Prof Michael Tenzer, Prof. Made Hood, Prof. Shin Nakagawa, Prof. Wayan Dibia, dan Prof. Wayan Rai.

Untuk mendukung berbagai kebijakan yang telah diluncurkan oleh Gubernur Koster dan Wagub Cok Ace, menurut Prof. Bandem bahwa mereka telah mentransformaikan Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Bali menjadi Majelis Kebudayaan Bali (MKB) dengan tugas-tugas yang lebih luas dan jelas. Lembaga ini tidak saja memberi pembinaan pada bidang seni pertunjukan dan seni rupa, tetapi juga pada bidang-bidang seni yang lain. MKB diharapkan bisa melahirkan konsep tentang pendirian Lembaga Manajemen Kolektif untuk mengurus HKI dan royalti bagi para pencipta seni di daerah Bali.

Selain berfokus pada pembangunan seni pertunjukan dan seni rupa, Gubernur Koster juga memberi perhatian pada pembanguan sastra dan bahasa. Pergub Bahasa dan Sastra Bali yang merealisasikan Bulan Bahasa Bali akan menjadi warisan luar biasa Koster karena Aksara dan Bahasa Bali adalah salah satu pilar utama identitas ke-Bali-an orang Bali. Artinya kebijakan ini memastikan bahwa dalam arus besar globalisasi ini identitas ke-Bali-an akan tetap kuat dan berkesinambungan.

Baca juga:  APBD 2019 Disahkan, Ini Program Prioritas Koster-Ace yang Diakomodir

Selain Perda 4 tentang Pemajuan Kebudayaan, ada dua kontribusi penting Gubernur Koster, yaitu menguatkan fondasi ke-Bali-an melalui Pergub Aksara dan Bahasa Bali, dan Perda 4 Tahun 2019 yaitu Perda Desa Adat. Sehingga dua pilar utama (Bahasa dan Desa Adat) memperoleh dukungan dan energi untuk mengukuhkan dan mempengaruhi, termasuk pembentukan Dinas Pemanjuan Masyarakat Adat yang pertama kalinya terjadi.

“Terakhir, saya kagum Pak Gubernur sempat mengeluarkan Perda/Pergub mengenai Timbunan Sampah Plastik, sebagai cerminan inovasi untuk menggabungkan solusi modern ke dalam kerangka tradisional (pelindungan kawasan suci dan sampah, red), kemudian diteruskan untuk menyusun awig-awig, sampai kemudian penetapan desa adat sebagai pengelola penanganan sampah mandiri. Ini juga menunjukkan kecerdasan untuk mengintegrasikan solusi yang mencakup parhyangan, pawongan, dan palemahan. Impian masyarakat agar desa adat menjadi ‘pusat kebudayaan’, pengembangan logika, etika, dan estetika akan menjadi kenyataan di bawah kepemimpinan Bapak Wayan Kopster dan Bapak Tjokorda Oka Sukawati,” tandas Prof. Bandem.

Budayawan Universitas Warmadewa, Dr. Drs. Anak Agung Gede Raka, M.Si., mengatakan ada 44 subunsur budaya menuju ke arah peradaban dan meliputi seluruh aspek kehidupan budaya Bali yang disampaikan Gubernur Koster saat pidato akhir tahun 2022. Artinya, pembangunan Bali saat ini sifatnya menyeluruh dan menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Bali.

Pembangunan Bali yang menjadikan “Sat Kerthi Loka Bali” sebagai orientasi utama untuk menuju Bali yang aman dalam hubungan antar warga, damai dalam berkreativias seni budaya, dan sejahtera secara ekonomi, maka untuk menciptakan dan menjaga harmonisasi ketiga elemen (kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi) sebagai kekuatan kunci menjaga keajegan Bali. Sehingga, niscaya ketiga aspek tersebut dipandang secara sama dan tidak ada yang harus diskala perioritaskan. Karena ketiga tersebut sama urgennya untuk membangun Bali secara menyeluruh.

Lebih lanjut dikatakan, masyarakat selain sebagai subject pelaku pembangunan, juga menjadi objek sasaran pembangunan. Budaya sebagai penentu arah pembangunan, karena konsep awal pembangunan Bali adalah semua wujud pembangunan harus berwawasan budaya. Sedangkan, ekonomi (modal) sebagai penggeraknya. Artinya tanpa modal Bali tidak dapat melaksanakan pembangunan sebagaimana yang tampak saat ini.

Baca juga:  Sengketa Tanah SDN 1 Pejeng Kaja Berlanjut ke Pengadilan

Bali menjadi dikenal di dunia mancanegara karena budaya dan kehidupan sosial masyarakatnya. Demikian pula pembangunan pariwisata Bali yang selama ini dapat dikatakan sebagai penyumbang devisa terbesar untuk pembangunan Bali, juga menjadi menjadikan budaya sebagai produk komoditas objek dan atau daya tarik wisata. Sehingga tidak berlebihan bilamana pembangunan Pariwisata Bali menjadikan budaya sebagai arah penentunya.

Gung Raka mengatakan, perekonomian Bali tumbuh berkembang pesat tentu karena menjadikan seni budaya, adat, dan tradisi sebagai daya tariknya. Untuk itu dibutuhkan berbagai upaya menyejahterakan masyarakat Bali melalui pemerataan pembangunan sesuai potensi daerah.

Sebagai contoh pembangunan Tower Turyapada di Desa Pegayaman Buleleng. Dengan demikian, tidak hanya masyakat Desa Pegayaman yang menimakmati kesejahteraan hasil dari pembangunan proyek tersebut, namun juga juga masyarakat sekitar Desa Pegayaman dan Buleleng pada umumnya. Contoh lainnya, yakni panataan daya tarik wisata Pura Besakih, Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung, serta pengembangan usaha lainnya. Seperti, pemberian izin produk komoditi arak Bali, pembuatan Perda Busana Adat Bali, dan berbagai bentuk usaha pengembangan produk lokal khas Bali.

“Itu semua dilakukan berkat atensi mendalam Gubernur Bali terhadap masyarakat Bali agar ke depan hidupnya semakin sejahtera. Sejahtera dalam arti rukun sesama warga, beradab di bidang budaya dan sejahtera secara ekonomi.

Khususnya dalam menuju kehidupan beradab bidang budaya, niscaya aktivitas seni budaya yang dipandang menodai nilai adab seni budaya, seperti joged jaruh (porno), dagelan buang (porno) pemain lawak, dan banyolan lain yang terkesan porno harus telempar jauh dari seni pertunjukan. Suatu hal yang patut direnungkan adalah kehidupan masyarakat Bali khususnya di bidang budaya, karena menjadikan budaya sebagai kompas pembangunan Bali, niscaya menempatkan budaya di hulu dan mengalir hingga bermuara di hilir. “Diyakinini bahwa cita-cita mulia Gubernur Bali dapat terwujud dengan dukungan dan kerjasama semua elemen masyarakat Bali,” pungkasnya. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN