Ilustrasi Kartu Keluarga. (BP/mik)

Dalam perjalanan politik Indonesia saat ini, kiranya ada perkembangan baru yang cukup mendapat perhatian masyarakat. Rancangan undang-undang tentang ketahanan keluarga, yang sudah masuk program legislasi nasional, mendapat perhatian cukup banyak.

Kata ‘’ketahanan’’ dalam undang-undang tersebut mengandung tafsiran bahwa masyarakat Indonesia masih belum mampu membentuk keluarga yang utuh. Karena itu ketahanannya harus diperbaiki. ‘’Obatnya’’ adalah undang-undang.

Secara jujur memang harus diakui bahwa kesadaran untuk membentuk keluarga di Indonesia itu masih kurang. Dalam arti dalam struktur sosial di Indonesia, pemahaman atas eksistensi sebuah keluarga itu masih tidak dipahami secara benar.

Dari sisi orangtua, misalnya, masih tetap dijumpai orangtua yang cepat-cepat menginginkan anaknya berkeluarga, semata-mata karena ingin mengemong cucu. Atau malah yang lebih ngawur lagi, karena anak tetangganya sudah menikah. Ada yang ketakutan apabila anaknya menjadi telat menikah. Di kalangan generasi muda, ada kecenderungan untuk segera menikah semata-mata karena dorongan seksual, tanpa melihat kesiapan mental untuk menikah.

Baca juga:  Mewujudkan Desa sebagai Kekuatan Ekonomi Baru

Padahal, keluarga itu merupakan lembaga yang mempunyai aturan tersendiri, secara moral sifatnya tetap kontinu dan memiliki banyak tantangan untuk mempertahankan. Inilah yang tidak dipahami oleh orang Indonesia.

Di zaman sekarang, di mana akses gambar senonoh untuk internet itu demikian terbuka, dikhawatirkan menimpa anak-anak remaja terpapar dan kemudian terdorong untuk segera menikah. Inilah yang mendorong muncul berbagai problem pernikahan.

Munculnya masalah keluarga, seperti kekerasan di rumah tangga, istri yang dieksploitasi untuk bekerja, istri yang hanya diam saja di rumah berhias diri, sampai mertua yang demikian ikut campur, merupakan akibat dari pernikahan yang dipaksakan.

Baca juga:  Apa Kabar Satgas Saber Pungli Bali?

Padahal dalam keluarga itu ada ikatan batin dan kesukarelaan untuk berbagai peran. Dan ini akan didapatkan kalau masing-masing pihak telah matang untuk melakukan pernikahan, dan yang juga penting adalah apabila orangtua sudah siap untuk mempunyai menantu.

Dalam konteks itu, seharusnya tidak perlulah dibentuk rancangan undang-undang untuk keluarga tersebut. Apalagi ada kata-kata ‘’ketahanan’ di dalamnya. Yang harus diperbanyak adalah penyebaran nasihat untuk pembentukan keluarga itu. Jika sampai membentuk undang-undang, barangkali terlalu berlebihan.

Baca juga:  Wajar, Pusat Biayai Pelestarian Budaya Bali

Negara mencampuri terlalu banyak masyarakat, bahkan sampai ke ranah pribadi. Ya, dalam urusan keluarga itu, banyak ranah pribadi yang terpampang di dalamnya. Tentu kita harus menghargai hal yang sifatnya pribadi ini. Katanya Indonesia itu negara demokrasi, jadi mengapa harus mengurusi masalah pribadi?

Jauh sekali dari demokrasi. Paham demokrasi berhenti sampai urusan sosial politik. Keluarga adalah keluarga, di dalam ranah etika privat yang dimiliki manusia sebagai makhluk Tuhan. Ada kebebasan dan seni untuk membentuknya. Hanya imbauan yang dapat dilakukan oleh negara. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan imbauan seperti melalui PKK, Dharma Wanita, sekolah, kelas keluarga, dan sebagainya.

BAGIKAN