Ilustrasi Stunting. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Prevalensi stunting (kekerdilan anak) di Bali telah menurun menjadi 19,8 persen pada  tahun 2018 atau turun 10 persen sejak 2013. Prevalensi stunting di provinsi Bali pada 2013 cukup tinggi yakni mencapai sekitar 30 persen.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Bali Dian Nardiani mengatakan, Gianyar sebelumnya tercatat sebagai wilayah dengan angka stunting tertinggi di Bali. Namun saat ini posisi Gianyar telah digantikan dua kabupaten lainnya yaitu Buleleng dan Bangli.

Keduanya memiliki prevelansi stunting sekitar 20 persen-23 persen. Kondisi ini berbeda dengan kabupaten lainnya di Bali yang prevalensi stunting di bawah 20 persen.

Baca juga:  Ngaku Polisi, Sidak HP Siswa di Sekolah dan Bawa Kabur

Kedua kabupaten ini menjadi prioritas penanggulangan stunting saat ini dan memerlukan intervensi gizi dari hulu tidak hanya di hilir saja, khususnya mulai dari  remaja perlu mendapatkan edukasi gizi dengan baik.

Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia, juga ancaman terhadap daya saing bangsa. Hal ini karena anak stunted, bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya (bertubuh pendek/kerdil) saja, melainkan juga terganggu perkembangan otaknya.

Sehingga mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas dan kreativitas di usia-usia produktif. Kondisi tubuh anak yang pendek seringkali dikatakan sebagai factor keturunan (genetic) dari kedua orang tua.

Sehingga masyarakat banyak yang hanya menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal seperti diketahui, genetika atau keturunan merupakan faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan factor perilaku, lingkungan baik sosial, ekonomi, budaya, politik dan pelayanan kesehatan.

Baca juga:  Mendagri Jelaskan Pembatalan PPKM Level 3 Serentak pada Libur Nataru

Dengan kata lain, stunting merupakan masalah yang sebenarnya bisa dicegah. Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan stunting, yaitu perbaikan terhadap pola makan, pola asuh, serta perbaikan sanitasi dan akses air bersih.

“Seringkali masalah-masalah non kesehatan menjadi akar dari masalah stunting, baik itu masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, kemiskinan, kurangnya pemberdayaan perempuan, serta masalah degradasi lingkungan. Karena itu, kesehatan membutuhkan peran semua sektor dan tatanan masyarakat,” imbuh Dian.

Baca juga:  Puluhan Sopir Truk Kembali Datangi Bupati Buleleng

Untuk mencegah stunting, 1.000 hari pertama kehidupan harus benar-benar diperhatikan. Pada 1.000 hari pertama itu calon ibu dan bayi harus mengonsumsi makanan bergizi, konsumsi tablet tambah darah pada ibu hamil dan remaja putri.

Pada ibu hamil minimal diberikan 90 tablet selama kehamilan. Persalinan dengan dokter atau bidan yang ahli, pemberian makanan tambahan pada ibu hamil.

Pemberian ASI ekslusif pada bayi hingga usia 6 bulan. Setelah 6 bulan pemberian Makanan Pendamping (MP) ASI.

Berikan imunisasi dasar lengkap dan vitamin A. Pantau pertumbuhan balita di posyandu terdekat. Ada akses air bersih dan sanitasi. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *