Donald Trump. (BP/AFP)

Oleh GPB Suka Arjawa

Setelah Iran menembakkan roket untuk menggempur markas militer Amerika Serikat di Irak, seorang pejabat tinggi Iran mengatakan bahwa negaranya tidak akan melakukan pembalasan lagi jika negara lawannya itu tidak lagi menyerang balas atas serangan roket tersebut. Pernyataan ini boleh dikatakan mewakili dari sikap pemerintah Iran terhadap peristiwa tewasnya perwira tinggi Iran Qaseem Suleimani beberapa hari sebelumnya.

Pernyataan itu mencerminkan bahwa tidak ada yang berani mengambil risiko ‘’adu jangkrik’’ antara dua negara yang sama-sama ngotot itu. Dalam seminggu terakhir ini, dunia terlihat terguncang karena serangan AS kepada perwira tinggi itu, yang membuat marah Iran.

Masyarakat tahu bahwa negara Iran tidak main-main dengan ucapannya, dan pasti akan melakukan balasan. Dunia masih ingat bagaimana lebih dari 200 pasukan marinir AS tewas di Libanon tahun 1983 akibat ledakan bom bunuh diri dengan menabrakkan truk penuh peledak ke markas militer Amerika di Libanon. Peristiwa ini menjadi salah satu cikal bakal bom bunuh diri.

Karena itulah, dunia wajar khawatir dengan kondisi di Timur Tengah itu. Iran juga mempunyai basis pengaruh yang tidak sedikit di Libanon, Suriah, Yaman, Palestina dan negara-negara lain di Timur Tengah. Jika keadaan memaksa, tidak perlulah Iran yang melakukan serangan balasan secara langsung ke Amerika Serikat, tetapi cukup dengan mengerahkan loyalis mereka yang ada di berbagai negara.

Iran tidak takut dengan sekutu AS di Timur Tengah, yaitu Arab Saudi. Konon serangan pendudukan pada Mesjidil Haram pada akhir dekade tujuh puluhan disponsori oleh Iran.

Baca juga:  Pascaserangan Iran ke Irak, PBB Serukan Semua Pihak Tahan Diri

Penembakan tanker-tanker raksasa pengangkut minyak di Teluk Parsi juga berani dilakukan oleh Iran. Sekali lagi, pantaslah kemudian ada kekhawatiran-kekhawatiran munculnya Perang Dunia III. Iran mempunyai sekutu, dan Amerika Serikat mempunyai sekutu juga yang semuanya berskala regional yang potensial memicu perang tersebut.

Tetapi sekali lagi, adanya pernyataan dari petinggi Iran yang akan tidak melakukan balasan lagi kepada Amerika Serikat jika negara ini tidak lagi melakukan serangan kepada kepentingan Iran, menyiratkan sikap Iran telah melunak. Amerika Serikat juga mengatakan bahwa serangan itu ditujukan pada markas militer yang sudah kosong, tidak ada penghuninya dan tidak ada melukai tentara Amerika Serikat dan siapa pun di wilayah itu.

Pernyataan ini sedikit banyak juga mengandung unsur ‘’kemenangan’’ bagi Amerika Serikat karena tidak merugikan pihak mereka. Jadi, kemungkinan besar negara ini tidak akan melakukan balasan lagi kepada Iran.

Kedua pihak sudah menyiratkan tidak akan melakukan saling balas lagi, dan bolehlah dikatakan perang besar antara kedua negara tidak akan terjadi. Perang Dunia III? Tidak ada yang berani dengan perang ini karena jika melibatkan senjata nuklir, pasti peradaban manusia akan dimulai dari nol lagi. Jadi, kasihan anak-anak muda yang sudah terbiasa memakai WA, atau memesan makanan melalui gojek jika peradaban dimulai dari titik nol!

Dengan demikian, kedua belah pihak, baik Iran maupun Amerika Serikat, masing-masing tidak akan berani mengambil langkah lebih lanjut karena keduanya dapat saja dikatakan sebagai pemenang. Paling tidak dalam konsep mereka masing-masing. Bagi Iran, pembalasan terhadap markas besar pasukan Amerika Serikat ini merupakan sebuah kemenangan apabila dikaitkan dengan aktor lain berupa negara.

Baca juga:  Stress Test BI : Perbankan Indonesia Kuat Hadapi Tekanan Penutupan Bank di AS

Tidak ada negara lain yang berani dan mampu menantang Amerika Serikat sevokal apa yang dilakukan oleh negeri para mullah itu. Keberanian untuk membalas merupakan kemenangan psikologis bagi negara itu, terutama untuk ukuran regional di kawasan Timur Tengah. Meskipun sasaran yang diserang itu kosong (seperti yang diungkapkan oleh pihak lawannya), tetapi keberanian melawan dan membalas serangan ini merupakan pembangkit semangat bagi warga loyalis Iran di wilayah Timur Tengah dan Teluk Parsi. Seperti yang diutarakan tadi, Iran mempunyai  loyalis di negara-negara Irak, Libanon, Yaman, Suriah, Palestina dan beberapa negara lain di wilayah Timur Tengah.

Negara-negara yang mempunyai penduduk muslim Syiah cenderung condong menjadi loyalis Iran. Kepercayaan diri mereka meningkat dan sebagai pernyataan bahwa mereka mempunyai aktor negara yang berani menghadapi Amerika Serikat, simbol imperialis musuh mereka yang dipandang mengeksploitasi dunia.

Sebagai sebuah negara, meskipun saat ini menghadapi kesulitan ekonomi dan kena embargo minyak, hal ini penting bagi Iran dalam jangka panjang untuk semakin mencengkramkan pengaruhnya di Timur Tengah. Pengaruh ini penting, bukan saja untuk meningkatkan wibawa negara, tetapi dalam masa depan juga mempunyai pengaruh secara ekonomi.

Secara sederhana, produksi dalam negeri Iran akan dapat dipasarkan di wilayah pengaruh ini, dan yang paling penting adalah memengaruhi kebudayaan dan keyakinan agama sesuai dengan keyakinan masyarakat Iran. Ini merupakan kemenangan politik besar bagi Iran untuk kawasan itu. Tentu saja juga keberanian Iran ini akan meningkatkan kebencian kepada Amerika Serikat dan sekutunya di wilayah pengaruh Iran tersebut.

Baca juga:  Kapal Tempur AS Sandar di Pelabuhan Benoa

Meski demikian, Amerika Serikat juga mempunyai kemenangan tersendiri dalam kasus ini. Tewasnya Jenderal Qaseem Suleimani secara strategis menguntungkan negara. Disebut-sebut jenderal itulah yang mengarsiteki serangan-serangan kepada kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah, termasuk ‘’mengganggu’’ sekutu terkuat negara ini di Timur Tengah, yaitu Israel dan Arab Saudi.

Iran jelas tidak pernah akur dengan Israel karena dipandang sebagai penjajah Palestina. Dengan Arab Saudi, Iran juga bersaing memperebutkan pengaruh di Timur Tengah, di samping kemungkinan juga pengaruh antara Muslim Suni di Arab Saudi dan Muslim Syiah di Iran.

Dengan demikian, keberhasilan Amerika Serikat membunuh Jenderal Suleimani mempermudah Arab Saudi untuk melebarkan sayapnya dan mengontrol pemberontakan di Yaman yang mengganggunya. Dengan begitu, Amerika Serikat pun merasa ada manfaat atas sikapnya. Ada yang menyebutkan bahwa penembakan jenderal ini juga menguntungkan Presiden Doland Trump karena mampu mengalihkan perhatian dari dalam negeri dari pihak-pihak yang ingin memecatnya.

Bagaimana jika perang dilanjutkan? Semuanya juga akan mendapat kerugian besar. Iran pasti akan dikejar oleh Amerika Serikat. Tahun 1991, Amerika Serikat menggempur Irak secara langsung dengan operasi Dissert Storm. Kalau sudah marah, begitulah kiranya negeri Paman Sam itu. Tetapi, jika Iran marah, para loyalisnya di berbagai penjuru dunia akan mengejar sasaran yang berbau Amerika Serikat, secara sukarela bunuh diri. Sama-sama hancur. Jadi yang paling baik adalah menahan diri.

Penulis, Plt. Koprodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *