Anak-anak bermain di pengungsian. (BP/dok)

Oleh Irma Suryani

Tujuan ideal pendidikan, lebih-lebih pendidikan tingkat dasar, adalah menumbuhkan dan mengembangkan potensi dan kreativitas anak-anak kita. Dengan demikian, sekolah, baik itu sekolah negeri maupun sekolah partikelir, harus menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya potensi dan kreativitas anak.

Dalam konteks ini, esensi pendidikan (terlepas seperti apa pun bentuk kurikulum maupun pendekatan yang digunakan) adalah untuk menciptakan siswa didik yang mampu mengembangkan rasa ingin tahu, kreatif dan memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat.

Sekolah menjadi institusi pendidikan sangat penting bagi anak-anak kita. Sekolah adalah rumah kedua bagi mereka. Selain sebagai tempat belajar aneka pengetahuan dan keterampilan, sekolah juga menjadi tempat bermain bagi anak.

Bagaimanapun dunia anak adalah bermain. Aktivitas bermain bagi anak berguna untuk membantu pertumbuhan anak, memberi kebebasan anak untuk bertindak, memberikan dunia khayal yang disukai anak, memberi kesempatan anak untuk berpetualang, meletakkan dasar pengembangan bahasa, serta membentuk dan membangun hubungan antarpribadi anak.

Selain itu, bermain juga berguna untuk latihan agar anak mampu menguasai diri secara fisik, memperluas minat dan pemusatan perhatian, memberi peluang anak untuk menyelidiki sesuatu, membantu anak dalam mempelajari peran orang dewasa, sarana anak belajar sejumlah hal, serta membantu menjernihkan pikiran anak. Sama dengan rumah, sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman serta menggembirakan, sehingga membuat anak merasa betah.

Baca juga:  Tempat Tidur Faskes di Bali Belum Merata

Bila anak betah selama ia berada di sekolah, proses belajar aneka pengetahuan dan keterampilan akan berjalan lancar, sehingga anak memiliki peluang yang lebih besar untuk sukses di bidang akademik maupun di bidang non-akademik. Karenanya, mewujudkan sekolah yang ramah anak menjadi sebuah keniscayaan.

United Nations Childrens Fund (Unicef) memberi batasan sekolah ramah anak sebagai sekolah yang memberi keamanan dan kenyamanan kepada anak secara fisik, emosional maupun secara psikologis. Aktivitas belajar dan bermain anak di sekolah akan terganggu ketika lingkungan sekolah ternyata tidak ramah bagi anak.

Kita harus akui, sampai saat ini masih banyak anak kita yang merasa tidak aman serta nyaman, baik secara fisik, emosional dan psikologis ketika berada di sekolah. Alih-alih menjadi individu yang berhasil mengembangkan potensi dan kreativitasnya dengan baik, anak malah menjadi individu yang bermasalah.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana mewujudkan lingkungan sekolah yang ramah anak? Salah satu upaya mewujudkan sekolah ramah anak adalah meniadakan bentuk-bentuk kekerasan di lingkungan sekolah. Ini bisa dimulai dari para guru sebagai garda terdepan dalam mendidik anak di sekolah.

Baca juga:  ”Kenceng’’: Romantisme Kampus dan Kegagalan Manusia

Tidak bisa dimungkiri, hingga sekarang ini masih banyak guru kita yang baik secara sadar atau tidak sadar menanamkan benih-benih kekerasan kepada anak-anak kita, entah itu berupa kekerasan verbal maupun kekerasan fisik. Tidak sedikit guru kita yang masih suka mengumbar bentakan, makian atau hardikan kepada siswa-siswa mereka.

Pun tidak sedikit guru kita yang masih memilih untuk memberikan hukuman fisik dengan dalih menegakkan disiplin serta aturan di lingkungan sekolah. Padahal di sejumlah negara, hukuman fisik telah lama dihilangkan dari sekolah. Para guru dilarang sama sekali memberikan hukuman fisik, apa pun alasannya, kepada para siswanya. Tugas sekolah dan para guru bukan untuk menghukum anak, tetapi justru untuk mendidik anak. Mendidik tidak harus dengan hukuman.

Penelitian selama 30 tahun yang dilakukan antara lain oleh Murray Straus dari Universitas New Hamspshire dan Joan Durrant serta Susan Wingert dari Universitas Manitoba, Amerika Serikat, atas penerapan hukuman fisik kepada anak-anak di sekolah menghasilkan kesimpulan bahwa hukuman fisik justru meningkatkan tindakan agresif dan perilaku antisosial di kalangan anak-anak.

Baca juga:  Belajar, Berdoa, Berubah

Di samping menjamin tidak adanya kekerasan, sekolah juga harus menjamin inklusivitas dengan jalan tidak melakukan diskriminasi terhadap anak, sehingga hak-hak anak dapat ikut terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Hak-hak anak meliputi antara lain hak untuk menerima pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, hak perlindungan dari eksploitasi, kekerasan dan perundungan; hak mendapatkan sanitasi yang baik; hak untuk berpartisipasi dan berpendapat; hak menjadi warga yang setara dan memiliki akses kepada semua layanan publik tanpa memandang etnik, agama, gender atau cacat tubuh yang dimilikinya serta hak untuk memiliki akses ke berbagai ruang terbuka hijau dan bermain dengan aman.

Di bidang infrastruktur dan fasilitas, ketersediaan ruang kelas yang bersih dengan penerangan yang memadai, jamban, tempat ibadah dan sarana olahraga serta kantin sekolah yang juga bersih dan terawat, baik menjadi keharusan pula untuk mendukung terciptanya sekolah ramah anak.  Pemerintah dan masyarakat perlu terus mendorong para pengelola sekolah agar sekolah yang mereka kelola benar-benar menjadi sekolah yang ramah anak, sehingga anak-anak kita dapat belajar dengan aman, nyaman dan gembira.

Penulis, peminat masalah pendidikan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *