Salah satu RTHK di Denpasar yang makin terdesak dengan alih fungsi lahan. (BP/dok)

Oleh Agung Kresna

Menggambarkan cuaca ekstrem yang melanda Bali, sekaligus membuktikan ketidaksiapan kita menghadapinya. Kemampuan mitigasi bencana alam kita memang harus selalu ditingkatkan. Karena bencana alam adalah sesuatu yang akan selalu datang, tanpa kita tahu kapan tepatnya bencana tersebut akan menghampiri kita.

Berbagai perangkat pendeteksi bencana hanyalah sekadar alat bantu informasi dini akan kemungkinan datangnya bencana. Perilaku kita terhadap bencana menjadi kunci utama untuk menghindari terjadinya kemungkinan terburuk.

Alangkah ironisnya jika selalu ada korban yang kehilangan nyawa, setiap kali kita ditimpa bencana alam. Apa pun bentuk bencana alam yang terjadi, pada dasarnya bencana alam adalah suatu peristiwa alam biasa yang akan terus terjadi. Kesiapan kita dalam melakukan antisipasi atas suatu bencana, akan meminimalkan jatuhnya korban jiwa.

Peristiwa tumbangnya banyak pohon dan robohnya bangunan akibat terjangan hujan lebat yang disertai angin kencang di banyak wilayah Pulau Bali, menandakan rapuh rentannya pohon serta bangunan yang kita miliki. Benar bahwa yang terjadi adalah cuaca ekstrem. Namun meski kita tidak dapat mengendalikan terjadinya suatu peristiwa alam, kita masih dapat meminimalkan jatuhnya korban dengan menata vegetasi/tanaman dan bangunan yang ada.

Kita dapat melakukan pembuatan bangunan secara benar sesuai kaidah-kaidah konstruksi, sehingga memiliki ketahanan terhadap hantaman bencana alam dalam skala tetentu. Sementara pohon beserta vegetasi lainnya harus selalu kita monitor kekokohannya, agar tidak menjadi sumber munculnya bencana ikutan akibat roboh diterjang hujan badai.

Baca juga:  ‘’Quo Vadis’’ RUU Pertanahan

Keberadaan pohon-pohon besar sebagai vegetasi pada suatu kota atau lingkungan hunian dimaksudkan sebagai sarana menjaga keseimbangan ekosistem suatu lingkungan buatan, sekaligus sebagai perindang lingkungan. Namun jika pohon-pohon besar tersebut tidak dijaga dan dipelihara dengan baik, niscaya kehadiran pohon tersebut justru menjadi sumber bencana jika roboh akibat terjangan hujan badai ataupun puting beliung.

Ruang Terbuka Hijau

Krama Bali yang memegang filosofi Tri Hita Karana pada hakikatnya selalu menjaga keseimbangan alam. Segenap krama Bali menjadi bijak dalam menata ruang fisik lingkungan hunian kehidupannya.

Telajakan menjadi contoh bagaimana krama Bali menciptakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai kawasan ekologis pada area semi publik. Memang saat ini nilai strategis posisi telajakan yang berada di tepi jalan raya telah memicu terjadinya perubahan fungsi. Banyak telajakan yang berubah menjadi warung akibat tuntutan fungsi ekonomi.

Rumah tradisional krama Bali juga sangat ramah terhadap lingkungan alam. Hampir sekitar 70 persen area rumah merupakan lahan terbuka. Sementara hanya sekitar 30 persen sisanya merupakan ruang terbangun untuk hunian. Dengan pola seperti ini, berarti setiap keluarga krama Bali telah menyumbang lebih dari 50 persen area huniannya sebagai RTH bagi lingkungannya.

Sementara itu, struktur bangunan rumah tradisional krama Bali juga ramah dalam antisipasi terhadap bencana yang mungkin terjadi. Konstruksi rumah merupakan struktur yang ramah terhadap goncangan gempa bumi. Sedangkan penggunaan bahan bangunan juga mengacu pada kaidah stabilitas mekanika konstruksi gedung, di mana bagian yang lebih atas selalu memakai bahan yang lebih ringan dibanding dengan bagian di bawahnya.

Baca juga:  Cuaca Ekstrem, Warga Diminta Waspada Banjir Lahar Dingin Sinabung

Di sisi lain, krama Bali selalu menghargai pohon-pohon besar berusia puluhan tahun sebagai warisan leluhur dengan segala kandungan fungsi ekologis maupun filosofisnya. Mindset seperti ini merupakan wujud implementasi konsep palemahan bagi krama Bali. Bahwa kita harus hidup harmonis menyatu dengan alam lingkungan kita.

Kawasan padat hunian pun tidak lepas dari kondisi tersebut. Sehingga banyak pohon besar yang berdampingan dengan lingkungan perumahan yang padat. Di satu sisi kehadiran pohon besar terasa menyejukkan secara fisik dan psikis, namun juga cukup membahayakan jika pohon roboh diterjang badai. Ancaman dari robohnya pohon di kawasan kota dan lingkungan hunian, dapat diminimalkan dengan melakukan penataan vegetasi kota/lingkungannya.

Pertama, menentukan jenis pohon yang tepat dalam suatu kawasan. Pada suatu kota/lingkungan yang padat penduduk ataupun warga yang melintas, harus dipilih vegetasi yang memiliki akar kuat serta tidak gampang patah ranting/dahan pohonnya. Jenis pohon yang rapuh serat batang kayunya, harus benar-benar dihindari untuk kawasan yang padat warga. Hal ini guna menghindari ancaman terhadap warga yang melintas/berada dekat pohon.

Kedua, penanaman vegetasi kota maupun lingkungan ada baiknya mengacu pada filosofi yang terkandung dalam setiap vegetasi. Nenek moyang krama Bali pada saat menanam vegetasi pada suatu setra, pura, puri, ataupun ruang-ruang publik lain, tentu tidak sembarangan menentukan jenis vegetasinya.

Baca juga:  Kompleksitas dan Eksistensi Perguruan Tinggi

Selalu ada filosofi yang terkandung dalam setiap vegetasi bagi krama Bali, baik berwujud pohon, perdu, ataupun hamparan rumput. Sehingga keberadaan vegetasi pada suatu kota ataupun lingkungan tertentu tidak sekadar memenuhi fungsi ekologis semata, namun juga ada pesan filosofis yang perlu disampaikan pada segenap krama Bali.

Ketiga, pemeliharaan atas vegetasi yang ada di lingkungan padat hunian terutama pohon-pohon perindang besar. Pohon besar utamanya yang sudah berumur puluhan tahun, harus selalu dicermati dan dipelihara dengan baik. Pemangkasan rutin harus selalu dilakukan, bersamaan dengan pencermatan atas kekuatan akar pohon yang ada.

Hal ini ditujukan agar pohon besar yang dimaksudkan sebagai pohon perindang tidak berubah menjadi awal malapetaka yang memakan korban jiwa, akibat roboh tidak kuat menahan hempasan bencana badai yang bisa kapan saja datang melanda.

Ancaman bencana alam terhadap kawasan Bali harus menjadi tanggung jawab bersama segenap krama Bali. Tidak ada salahnya jika segenap krama Bali melakukan aktualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi Tri Hita Karana (utamanya dalam konsep palemahan) sebagai komitmen dalam kehidupan kesehariannya.

Kandungan nilai dalam filosofi keseimbangan alam ini perlu diberi makna yang baru di tengah deru mesin globalisasi yang merasuk krama Bali melalui gelimang dolar dalam industri pariwisata.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *