Viraguna Bagoes Oka. (BP/dok)

Oleh Viraguna Bagoes Oka

Sering kali pertanyaan ini menggelitik dan muncul dihadapan kita tentang kemana arah dan langkah yang dituju oleh lembaga keuangan Bali dalam menyongsong tahun politik 2024. Suatu pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab semenjak munculnya situasi dan keadaan “luar biasa alias extra ordinary situation” yang secara beruntun dihadapi oleh Indonesia, khususnya Bali dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini (2018-2023).

Masih kental dalam ingatan kita bahwa Bali dalam dua dekade sebelum memasuki tahun 2018, daya tahan ekonomi Bali selalu dianggap paling kinclong dan terus memikat para pebisnis leisure luar Bali. Bahwa Bali sebagai destinasi utama dan magnet bagi para pelaku pariwisata mancanegara, tercermin dari kinerja ekonomi
Bali yang tetap stabil/ tahan terhadap guncangan
turbulensi/ krisis keuangan/dunia usaha global.

Pada era ini, dunia usaha dan ekonomi Bali terkenal tangguh, hal ini terbukti pada saat terjadinya krisis moneter 1998 dan krisis mortgage 2008, sistem keuangan/dunia usahanya Bali justru meroket dan bisa tetap kinclong bahkan menunjukkan pertumbuhan ekonominya yang luar biasa dan tumbuh positif yaitu di kisaran 6-7% dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia yang maksimum hanya dikisaran 4-5%.

Baca juga:  Suka-duka Piala Dunia

Namun, Bali hingga 2018 tersebut, ketika memasuki triwulan keempat 2018, tanpa terduga dan sangat mengejutkan Bali mulai mengalami pukulan beruntun imbas dari situasi ekonomi, politik, keamanan dan perdagangan global yang tidak terhindarkan dengan kronologis kejadian demi kejadian menimpa Bali.

Pertama, di pertengahan 2018 terjadi perang dagang antara China dan Amerika serta kekisruhan brexit (Inggris vs Uni Eropa) yang dahsyat telah memukul langsung perdagangan dunia, termasuk tanda-tanda mulai terdampaknya kemerosotan perekonomian Bali (Bali 90% tergantung kepada industri pariwisata yang menyebabkan terjadinya penurunan drastis daya beli
masyarakat dan pariwisata andalan Bali).

Dampak lanjutannya adalah terkoreksinya harga properti atau tanah yang sebelumnya didominasi oleh pasar properti sarat spekulasi dengan harga tinggi di luar kewajaran telah menurun drastis sehingga harga properti anjlok ke level terendah bahkan di bawah harga wajar, bersamaan dengan munculnya kepanikan dan terhimpitnya dunia usaha dan masyarakat kecil akan kebutuhan likuiditas untuk bisa tetap mempertahankan
kinerja usahanya.

Kedua, awal 2019 dengan munculnya wabah pandemi COVID-19 telah meluluhlantakkan kehidupan normal di tingkat lokal, nasional, regional dan dunia secara massive. Kehidupan normal dunia usaha menjadi chaos dan mencemaskan yang menyebabkan pemerintah dalam kurun waktu tiga tahun hingga akhir 2022 harus
mengalokasikan ekstra dana besar dan mengerahkan seluruh daya /kemampuan.aparatnya untuk fokus penuh kesehatan dan keselamatan umat manusia dengan segala langkah drastis yang harus ditempuh mulai distancing policy yang super ketat, WFH, BLT, penyediaan fasilitas kesehatan darurat hingga program vaksin masal dan pusat kegiatan usaha/perkantoran hingga perekonomian nasional terancam lumpuh total dengan biaya APBN 60% tertuju untuk kesehatan semata.

Baca juga:  Pedagogi Kritis Mendikbud

Ketiga, sampai dengan akhir 2022 hingga pertengahan 2023 walaupun pandemi Covid-19 sudah dinyatakan telah berakhir secara resmi oleh pemerintah RI, namun dampaknya yang begitu dahsyat masih terus berlanjut terutama di sektor keuangan dan dunia usaha Bali, walaupun daerah lainnya di luar Bali telah dinyatakan berangsur pulih kembali.

Lembaga keuangan formal di Bali dari tingkat non bank (koperasi dan LPD) dan bank masih terus mengalami tekanan berat akibat lanjutan dampak pandemi yang menyebabkan dunia usaha dan keuangan yang dananya bersumber dari non bank dan bank mengalami tekanan
berlanjut. Hal ini antara lain disebabkan karena usaha yang sumber dananya tersebut umumnya masih mangkrak dan memerlukan waktu dan dana tambahan utk bisa mengembalikannya ke kondisi usahanya bisa pulih /normal kembali.

Baca juga:  Membangun Kembali Bali Utara

Oleh sebab itu, pemerintah pusat telah mengeluarkan
kebijakan strategis khusus utk wilayah Bali (akibat pariwisata yang terpuruk) dengan kebijakan relaksasi debitur(penundaan pembayaran) hingga tahun 2024.
Mencermati kondisi global, regional dan nasional yang masih menghadapi berbagai potensi permasalahan struktural ekonomi terkait masalah sosial dan politik yg masih berlanjut terutama di tahun politik khususnya Bali, menyebabkan sektor keuangan/industri perbankan dan dunia usaha Bali tidak sedang baik-baik saja.

Sektor keuangan dan industri perbankan Bali sudah sangat mendesak untuk dapat diberikan kebijakan, khusus relaksasi dan kemudahan pendukung yang
setara dng kebijakan relaksasi pemerintah terhadap debitur bermasalah sebagai dampak lanjutan pandemi dan krisis global serta tantangan penuh ketidakpastian menyongsong tahun politik 2024.

Penulis, Pemerhati masalah UMKM, Keuangan dan Perbankan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *