Setyawan Santoso. (BP/Istimewa)

Oleh  M. Setyawan Santoso

Mengapa kembali, bukan beralih? Ini karena sektor pertanian merupakan tulang punggung dari perekonomian Bali di masa lalu. Kedatangan wisatawan yang melonjak sejak tahun 2004 membuat sektor pariwisata menjadi tumpuan harapan sehingga perhatian banyak tertuju ke sana.

Sebagaimana diketahui, Bali pada tahun 2020 yang mengalami pertumbuhan negatif cukup mendalam hingga -9,3%. Jika kita cermati, kontraksi ini bersumber dari dua sisi. Pertama, pernurunan kinerja sektor hotel dan restoran (akmamin) yang disebabkan oleh menurunnya jumlah kunjungan wisatawan di masa pandemi. Menurut Dcode Analysis, sektor tourism and leisure merupakan sektor yang paling terdampak di masa pandemi. Mengingat perekonomian Bali sangat didominasi oleh sektor pariwisata, maka penurunan kinerja pariwisata berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

Faktor kedua yang menyebabkan kontraksi cukup mendalam adalah sektor non pariwisata yang tumbuh tidak cukup tinggi sehingga tidak mampu menahan penurunan kinerja sektor pariwisata. Provinsi KEPRI dengan wisata Pulau Bintan dan Pulau Penyengat juga kehilangan jutaan wisman. Namun, perekonomiannya pada tahun 2020 hanya berkontraksi -3,8% karena memiliki sektor industri maju di kawasan ekonomi khusus. Sementara itu perekonomian DIY dengan wisata keraton dan candi Prambanan – Borobudurnya sepi pengunjung, namun ditopang industri pendidikan dan industri rumah tangga sehingga hanya terkonsentrasi -2,69%.

Baca juga:  Digitalisasi, Kecerdasan dan Jurnalisme

Perhatian pemerintah dan seluruh pihak terhadap pariwisata sudah sangat baik. Hal dibuktikan dengan banyaknya program pemulihan pariwisata Bali seperti sertifikasi clean health safety and environment (CHSE), promosi pariwisata dan revitalisasi daerah tujuan wisata. Ke depan, kita harus juga memperhatikan sektor non pariwisata yang berfungsi sebagai bumper untuk menjaga goncangan yang mengancam sektor pariwisata sehingga kinerja perekonomian dapat terjaga. Salah satu sektor non pariwisata yang paling memiliki potensi untuk didukung adalah sektor pertanian.

Mengapa sektor pertanian?

Sektor pertanian merupakan tulang punggung dari perekonomian Bali di masa lalu. Masa kejayaan dan kemakmuran Bali yang tercapai pada masa dinasti Warmadewa tidak lepas dari dukungan sektor pertanian. Pada banyak prasasti abad ke-8 sudah dikenal banyak istilah pertanian seperti parlak (sawah), gaga (ladang) dan kasuwakan (irigasi). Sistem pertanian subak telah tercatat di buku-buku anak sekolah tahun 80-an.

Sektor pertanian memiliki kontribusi cukup besar (13,5%) yang merupakan sektor kedua terbesar setelah sektor hotel dan restoran dalam perekonomian Bali. Selain itu sektor ini memiliki ketahanan yang cukup kuat terhadap tekanan permintaan dan penawaran. Hal ini terbukti bahwa sektor ini masih tetap tumbuh pada saat terjadinya krisis.

Baca juga:  Seniman Sepuh Bali Tut Wuri Handayani

Sektor pertanian menyerap tenaga kerja (19,6%) yang merupakan sektor terbanyak menyerap tenaga kerja di Bali. Sifat lapangan kerja di sektor pertanian juga fleksibel karena dapat mengirim tenaga kerja ke sektor lain di saat ada yang membutuhkan, di sisi lain dapat menyerap tenaga kerja dari sektor lain pada saat terjadinya pengangguran. Hal ini terbukti dimana ketika terjadinya pandemi, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor hotel restoran menurun dari 13,3% tahun 2019 menjadi 9,7% tahun 2020, ternyata sebagian terserap di sektor pertanian sehingga pangsanya meningkat dari 18,7% menjadi 22,5%.

Sektor pertanian tumbuh cukup stabil. Berdasarkan data dari BPS pada kuartal akhir tahun 2020, kinerja sektor hotel dan restoran terkontraksi sangat mendalam hingga -31,8%, sektor pertanian masih bertahan hingga hanya terkontraksi tipis sebesar -0,53%. Sementara itu sektor perdagangan dan sektor industri berkontraksi cukup mendalam yang masing-masing sebesar -9,8% dan -7,5%.

Mendukung sektor pertanian dengan sektor industri (agroindustri). Ke depan, sektor industri harus diarahkan menuju agroindustri, yaitu industri yang mengolah hasil hasil pertanian. Agroindustri tidak selalu melakukan pengolahan dari bahan mentah menjadi bahan makanan jadi, tetapi  lebih luas lagi mencakup pengepakan (packaging) yang steril dan higenis sehingga produk pertanian dapat disimpan dan dikirim sesuai kebutuhan.  Dengan agro indusri, pemasaran produk pertanian seperti buah manggis, sawo, alpulkat dan mangga dapat bertahan lebih segar dan lebih lama.

Baca juga:  Sembako, IKN dan Pemilu 2024

Mendukung sektor pertanian dengan digitalisasi atau digital farming.  Selama ini telah ada beberapa anak muda yang kreatif dan mengembangkan aplikasi sebagai market place untuk memasarkan produk pertanian kepada konsumen. Dengan aplikasi ini petani dapat menawarkan produknya di market place sementara konsumen lokal maupun importir dapat melakukan pemesanan.  Ke depan, digitalisasi harus mencapai ke seluruh aspek pertanian mulai dari perolehan bibit oleh petani, pembiayaan, peminjaman traktor atau  mesin pengolahan, proses pengolahan, pengepakan (packaging) hingga pemasaran.

Meningkatkan perhatian kepada sektor pertanian baik melalui dialog Dinas Pertanian secara langsung dengan petani. Juga dengan mempererat koordinasi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian di pusat. Komunikasi yang aktif diperlukan agar Kementerian Pertanian memberikan perhatian lebih banyak terhadap Provinsi Bali dibanding provinsi lainnya. Dialog ini perlu untuk menjamin Bali menerapkan bibit terbaru dan penerapan teknologi terbaru yang paling efisien dalam meningkatkan produksi pertanian.

Penulis pengamat Ekonomi, Deputi Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *