Ilustrasi . (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

Tahun 2019, hajatan politik paling utama yang berlangsung adalah pemilu serentak dan pelantikan presiden. Pemilu serentak ini diselenggarakan pada 17 April. Jadi relatif dekat dari saat ini sedangkan pelantikan presiden akan diselenggarakan pada bulan Oktober. Seperti telah diketahui masyarakat, pemilu bulan April mendatang akan memperebutkan kursi DPR, DPRD Tk I dan II, DPD, presiden dan wakil presiden. Kampanye yang paling ditunggu-tunggu, yaitu penampilan presiden dan wakil presiden akan dimulai tanggal 17 Januari mendatang.

Sebagai sebuah perhelatan, pemilu kali ini mirip dengan pertunjukan yang memberikan ragam kejutan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah politik modern (maksudnya setelah tahun 1945), Indonesia menggelar pemilu serentak. Masyarakat memilih lima kandidat mulai dari presiden/wakil, anggola DPR, DPRD I dan II serta anggota DPD.

Lembaran kertas pemilih juga menghebohkan, karena panjangnya lebih dari 80 centimeter dan lebar lebih dari 50 sentimeter (kecuali untuk mencoblos presiden dan wakil presiden). Dengan kondisi seperti itu, bukan saja jumlah coblosan yang banyak tetapi waktu yang diperlukan di tempat pemungutan suara akan jauh lebih banyak dibanding sebelumnya. Karena itu, waktu tutup pemilihan seharusnya lebih panjang lagi, tidak hanya sampai pukul 13.00 demi mengantisipasi lamanya waktu di bilik suara.

Dengan catatan seperti itu, maka pemilu serentak 2019 ini seharusnya sangat menarik bagi masyarakat, terutama yang pernah mengikuti pemilu sebelumnya di Indonesia. Sebagai sebuah penggalian pengalaman, perhelatan ini memberi kesempatan pengalaman baru bagi seluruh pemilih.

Pemilih lama akan mendapat pengalaman baru dengan demikian banyaknya pilihan yang dilakukan dan demikian panjang lebar serta warna-warni kandidat.  Bagi pemilih pemula jelas pemilu merupakan sebuah pengalaman baru.

Maka dari sisi ini saja, seharusnya pemilu 2019 minim golput dan maksi pemilih. Penyelenggara pemilu kiranya dapat membuat tagline pemilu dengan titik pusat perhatian pada keunikan dan kebaruan format pemilu tersebut sebagai nilai jual. Akan rugi bagi pemilih jika harus golput dan tidak hadir pada pengalaman pertama pemilu serentak kali ini.

Baca juga:  Menimbang 44 Tonggak Peradaban Bali Era Baru

Dari sisi tantangan terhadap kecerdasan, pemilu ini merupakan penantang kecerdasan paling tinggi. Mungkin untuk memilih presiden dan wakil, tidak terlalu sulit untuk mengungkap kecerdasan pemilih. Tetapi untuk kandidat yang lain seperti DPD dan DPRD dan DPR, para pemilih harus cerdas dan tekun untuk melihat calon yang akan dipilihnya. Perhatian harus ditujukan kepada banyak kandidat. Jika tidak ingin rugi secara politik, maka akan sia-sia pilihannya.

Kedemokrasian dan kebebasan juga dapat tercermin lebih besar pada pemilu 2019 ini. Banyak yang menyebutkan bahwa efek ekor jas (coattail efect) akan berpengaruh pada pemilu kali ini. Efek ini mengasumsikan bahwa pilihan struktur atas akan mempengaruhi pilihan pada partai di bawahnya. Akan tetapi bagi pemilih cerdas, rasional dan demokratis tidak akan terpengaruh oleh hal ini.

Dengan hasil olahan otak dan rasional yang dilakukannya, mereka akan memungkinkan memiliki lima pilihan (partai) yang berbeda. Inilah pilihan politik pelangi yang sekaligus memberikan penyadaran bagi masyarakat dengan iklim demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi itu tidak harus seragam tetapi memberikan tempat kepada pilihan yang paling layak untuk muncul ke permukaan berdasarkan pilihan nurani.

Pemilu dengan karakter seperti ini  pula akan mampu secara tidak langsung memberikan penyadaran sosial dan budaya, bahwa Indonesia itu merupakan negara bhineka. Keragaman agama dan kebudayaan bukan saja disebabkan oleh takdir tetapi juga merupakan sebuah pilihan dan kedekatan. Ini tidak ada bedanya dengan pilihan dan afiliasi politik. Pemilihan umum sesungguhnya juga ada pada ranah tersebut. Pemilih akan memilih sesuai dengan pilihan hati setelah melakukann rasionalitas pertimbangan. Pemilih juga akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kedekatan. Pemilihan umum serentak dengan lima pilihan tahun 2019 ini sangat memungkinkan bagi masyarakat Indonesia melakukan pilihan yang berbeda partai antara DPD, DPRD, Legislatif dan pasangan presiden/wakil. Tidak akan elok jika harus memaksakan pilihan biar partainya sama kalau memang calon yang ditawarkan itu tidak sesuai dengan kehendak hati nurani. Ini merupakan kedekatan antara keragaman masyarakat Indonesia dengan keragaman pemilihan pada pemilu yang akan datang.

Baca juga:  Muda dan Matang, Bukan Sekadar Pamer Kekuatan Politik

Efek positif bagi masyarakat dari pemilu serentak seperti ini cukup besar, karena akan mendapatkan kandidat yang lebih mampu mengeksplorasi nilai-nilai pribadi pemilih. Tantangan justru dihadapi oleh kandidat dan partai politik. Dengan demikian banyaknya saingan dalam pemilu kali ini, maka mau tidak mau para calon harus mampu membuat pilihan tema kampanye yang paling spesifik dan sekaligus mengemasnya dalam nilai-nalai (partai) yang ada.

Bagi seorang kandidat calon legislatif daerah kabupaten misalnya, ia tidak hanya menghadapi saingan dari kalangan internal partai tetapi juga dari partai lain. Akan tetapi, mereka mau tidak mau juga harus menghadapi kandidat dari calon provinsi, pusat, DPD bahkan pasangan calon presiden/wakil. Karena kampanye dalam pemilu kali ini bersamaan semua, maka seluruh kandidat itu juga berkampanye bersama-sama. Ini benar-benar tejadi tabrakan kampanye secara masif dan terjadi juga tabrakan nilai-nilai, ide, dan janji-janji kepada masyarakat.

Semuanya itu berseliweran masuk melalui ranah publik. Karena begitu banyaknya nilai-nilai yang berseliweran, maka yang paling dapat diingat oleh masyarakat adalah nilai yang paling spesifik, rasional dan tidak muluk-muluk.

Baca juga:  Memaknai Pandemi sebagai Pengendalian Keserakahan

Tentu juga gimmik yang mudah diingat masyarakat adalah penampilan dan bahasa tutur kandidat manakala mereka melakukan kunjungan langsung ke lapangan. Ide dan nilai-nilai yang mirip, apalagi sama, tidak akan mungkin mendapat tempat di masyarakat. Inilah yang menjadi tantangan bagi para kandidat nanti.

Khusus bagi calon anggota legislatif daerah, karena tidak adanya foto pada kertas suara, tantangannya akan berlipat. Pada daerah-daerah terpencil yang mungkin tingkat melek hurufnya masih rendah, bukan tidak mungkin para pemilih akan sulit melakukan pilihan tanpa melihat foto.

Ada kemungkinan masyarakat di daerah seperti ini masih sulit dan tidak mampu membaca nama kandidat. Disinilah tantangan spesifikasi nilai dan bahasa tubuh mendapatkan peran utama. Hanya mereka yang berkualitas dan mempersipkan mental dengan baik akan memenangkan pertarungan.

Partai politik jelas mempunyai tantangan tersendiri. Partai haruslah mempunyai sikap melindungi para kandidatnya di tengah persaingan ini, sekaligus tidak memihak. Partai melindungi kandidatnya dari persaingan partai lain. Membela dari ancaman fitnah serta berita bohong, menjadi tugas utama partai dalam konteks ini.

Perkembangan zaman dengan media sosial harus waspada dengan fitnah dan hoax itu. Yang lebih diwaspadai adalah kondisi internal partai. Bagaimanapun banyak kandidat akan bersaing secara internal untuk memperebutkan kursi legislatif. Partai tidak boleh memihak di sini.

Partai adalah sebuah konglomerat yang tidak saja mempunyai anak “perusahaan” berupa calon dari DPD, DPR pusat-daerah, presiden/wakil, tetapi juga masing-masing anak buah di masing-masing “perusahaan” tersebut. Itulah yang harus dijaga kekompakannya oleh parti agar “perusahaannya” tidak kolaps.

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *