Ilustrasi. (BP/dok)

Pemerintah serbasalah. Ketika para dosen mengeluh minimnya gaji, pemerintah sudah menyambutnya dengan tambahan satu kali gaji pokok yang disebut sertifikasi dosen alias serdos.

Di luar negeri hanya dosen yang berkualitas yang berhak mendapatkan dana tunjangan lebih. Di Indonesia seorang guru besar diberi tiga kali gaji pokok sebagai tunjangan kehormatan. Enak sekali menjadi dosen dan guru besar toh pekerjaannya normal-normal saja.

Buktinya, Dikti mengeluhkan banyaknya dana penelitian dosen yang tak mampu diraih dosen lantaran tak mau meneliti. Jika dulu mengeluh soal dana penelitian yang kecil, sekarang ketika dianggarkan besar tak ada yang layak mendapatkan dana. Itu karena pertimbangan kualitas.

Begitulah potret dosen kita yang sering dikatakan orang sibuk mengajar di sana-sini melupakan predikat sebagai peneliti. Mereka hanya menjadi robot habis mengajar pulang dan besoknya mengajar lagi. Maka wajar saat ini pemerintah menuntut kualitas bukan lagi kuantitas. Terutama kualitas dalam penelitian dan pengabdian masyarakat alias P2M.

Baca juga:  Budaya Agraris sebagai Jiwa Pariwisata Bali

Mereka pun sudah menikmati segalanya. Pensiun hingga 65 tahun bahkan guru besar hingga 80 tahun dan berbagai aspek pendapatan lain akibat jabatan yang dipegang di program studi, fakultas hingga universitas.

Ada pernyataan rekan dosen bergelar guru besar di Bali menggelitik hati saya. Seorang profesor ternyata masih memperebutkan honor kecil di prodinya. Bahkan tanpa dikasi honor mereka tak mau ikut bekerja.

Sungguh ironis. Negara yang juga artinya rakyat berani menggaji mereka besar agar dosen dan guru besar banyak menemukan sesuatu yang baru yang bermanfaat bagi masyarakat luas atau dunia industri. Contoh nyatanya, banyak penemuan baru dalam segala bidang namun hanya berlaku di atas kertas alias tak dapat ditransferkan ke rakyat atau industri.

Baca juga:  Diperlukan Perjuangan Politik Juga

Misalnya ditemukan tomat gajah dan padi unggul yang menelan dana APBN yang besar, namun mana kebanggaan berlanjut yang terjadi usai penelitian itu. Toh hampir sebagian dosen kini memperebutkan jabatan struktural di lembaganya. Inilah yang namanya salah besar.

Mereka dididik menjadi peneliti dan meneliti bukan menjadi pejabat struktural. Sekali lagi, itulah potret dosen kita saat ini.

Jika masalahnya adalah penelitian, mestinya dosen harus memosisikan diri sebagai ilmuwan alias scientific. Syukur sekarang, pemerintah mewajibkan dosen meneliti dalam setahun. Itu pun sebenarnya sangat mudah toh banyak juga dosen yang tak melakukan tugas itu.

Dosen kita perlu mempelajari literatur yang relevan dengan penelitiannya. Hal ini menyebabkan paradigma dosen menjadi terbatas. Untuk menambah wawasan dosen dituntut untuk banyak membaca literatur di luar bacaan wajib pendukung mata kuliah. Saat ini belum ada teknologi yang dapat mentransfer secara langsung dari bahan bacaan ke otak kita, sekali tancap semua konten pindah. Satu-satunya jalan adalah membaca.

Baca juga:  Gaji PTT dan GTT akan Naik Lagi, Bangli Perlu Rp 44,9 Miliar

Kedua, tingkatkan penalaran. Penalaran berbeda dengan wawasan. Penalaran adalah kemampuan melakukan analisis lalu menarik kesimpulan dari berbagai fenomena yang dihadapi. Jika dianalogikan dengan sistem komputer, wawasan adalah database, sedangkan penalaran adalah processing.

Penalaran juga berhubungan dengan logika berpikir dosen. Sebagai contoh, sebuah applied research harus diawali dengan problem definition, setelah diketahui masalahnya dilanjutkan dengan penelusuran akar masalah. Setelah akar masalah diidentifikasi, dosen kemudian melakukan penelitian untuk menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi.

Kini, tempat melakukan penelitian tidak mendukung bukan alasan. Kini, tersedia data yang gampang diakses, key person (orang-orang kunci yang diperlukan pendapatnya) sangat mudah ditemui.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *