Kerajinan keramik karya perajin keramik dari Pejaten yang mengikuti pameran di Gedung Ketut Maria. (BP/dok)

TABANAN, BALIPOST.com – Desa Pejaten tidak hanya terkenal dengan kerajinan gentengnya tetapi juga dengan kerajinan keramiknya. Selain pasar domestik, keramik asal Pejaten ini sudah banyak dilirik oleh wisatawan mancanegara yang datang berlibur ke Bali.

Namun sayang, tahun 2018 ini permintaan keramik dari wisman menurun. Hal ini menyebabkan penjualan keramik asal Pejaten utamanya yang bertaraf kerajinan rumah tangga, saat ini hanya fokus pada pasar domestik.

Salah satu perajin keramik, Asiani warga Banjar Panesan, Desa Pejaten saat ditemui di acara pameran Gedung Maria, Rabu (28/11) mengatakan, biasanya banyak wisatawan yang datang langsung ke tempatnya untuk membeli keramik. Merk keramik Asiani adalah keramik Wisula yang membuat tempat dupa, lilin sampai tempat air berbagai ukuran.

Baca juga:  Aktivitas Gunung Agung Menurun, Kunjungan Wisatawan ke Besakih Lampaui Target

‘’Kalau wisatawan asing yang datang paling suka membeli tempat lilin aromatherapy dan ceret,’’ ujarnya.

Selain untuk dipakai sendiri, para wisatawan ini juga biasanya memesan atau membeli banyak untuk dijual kembali di Negara asalnya. ‘’Ada yang memang order untuk dijual kembali di Negara asal,’’ tutur Asiani.

Namun diakuinya, tahun ini tidak ada lagi pesanan atau wisatawan asing yang datang untuk membeli langsung keramiknya. Sehingga saat ini, Asiani hanya memenuhi permintaan domestik saja.

Diakui Asiani, jauh dalam dirinya berkeinginan untuk bisa mengekspor kerajinan keramik yang ia buat. Namun, karena keterbatasan modal, ia menyisihkan keinginan tersebut. ‘’Modalnya besar. Selain itu juga harus siap dengan kualitas yang baik dan tenaga kerja handal. Saya mengerjakan ini hanya dengan suami dan keluarga dekat. Kerajinan rumah tangga,’’ tuturnya.

Baca juga:  Evakuasi Wisatawan, Pelaku Pariwisata Bali Berupaya Berikan yang Terbaik

Dalam membuat kerajinan keramik ini, lanjut Asiani, pihaknya mendapatkan bahan baku tanah liat dari Jawa. Menurutnya, bahan baku di Tabanan sebenarnya masih ada. Hanya harganya jauh lebih mahal dibandingkan tanah liat dari Jawa. Jika di Jawa dijual Rp 2500 per kilo maka di Tabanan harga jualnya Rp 3000 per kilo. Setiap tiga bulan, Asiani membeli 50 kampil tanah liat dari Jawa dengan total harga Rp 5 juta.

Baca juga:  Jelang Idulfitri Tokoh Agama Bertemu, Ini Hasil Kesepakatannya

Untuk keramik yang ia buat kebanyakan menyesuaikan selera pasar. Karena saat ini hanya terfokus pada pasar domestik, keramik yang ia buat kebanyakan adalah tempat dupa hingga tempat air atau kendi untuk tirta. Namun ada juga kerajinan seperti tempat lilin, ceret, piring dan gelas. Harga yang ditawarkan bervariasi dimana paling murah Rp 10 ribu hingga Rp 200 ribu. Setiap bulannya, Asiani mengaku bisa mendapatkan omzet sebesar Rp 5 juta rupiah. (wira sanjiwani/balipost)

 

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *