Penyintas mengangkut harta benda mereka yang tersisa dari lokasi gempa dan pencairan tanah (likuifaksi) di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (13/10). (BP/ant)

DENPASAR, BALIPOST.com – Potensi likuifaksi di Bali, khususnya Bali Selatan harus disikapi pemerintah dan masyarakat dengan lebih baik. Jangan sampai setelah menimbulkan korban jiwa yang banyak baru ada langkah-langkah penanggulangan. Demikian dikemukakan Kepala Institut Manajemen Bencana Indonesia, Wahyu Novyan, Jumat (19/10) saat berkunjung ke Kantor Bali Post.

Ia mengatakan potensi bencana yang ada di Bali, khususnya terkait likuifaksi perlu dipetakan dengan lebih baik. Perlu dibangun kesiapsiagaan menghadapi bencana sejak awal. “Perlu ada upaya dari pemerintah untuk membuat kebijakan soal mitigasi bencana sehingga korban jiwa dan material yang ditimbulkan dalam sebuah bencana tidak besar,” kata Wahyu yang juga aktif di Aksi Cepat Tanggap, sebuah lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan.

Baca juga:  Asrama Sudirman Kebakaran, Ini Keterangan Saksi

Wahyu mencontohkan peristiwa gempa di Sulawesi Tengah yang banyak memakan korban jiwa dan material. Likuifaksi yang terjadi di wilayah Petobo dan Balaroa memakan banyak korban jiwa, diperkirakan sekitar 15 ribu orang hilang.

Padahal pemetaan likuifaksi di wilayah itu sudah dipetakan pada 2012 oleh Badan Geologi Indonesia dan disampaikan ke pemerintah daerah. “Kalau saja pemerintah mau memperhatikan penelitian itu dan membuat kebijakan dengan tidak memberikan izin melakukan pembangunan di wilayah yang rentan likuifaksi, tentunya korban jiwa yang ditimbulkan tidak akan sebanyak itu,” sebutnya.

Baca juga:  Tirta Empul di Gianyar

Ia mengutarakan berbicara mitigasi di Indonesia seperti ruang hampa. Bahkan, dinilai Indonesia sudah masuk darurat mitigasi. “Pemerintah sebagai pemimpin yang memiliki kekuatan dan anggaran seharusnya membuat kebijakan yang memetakan mitigasi bencana serta menyosialisasikannya ke masyarakat,” tegasnya.

Sebab, tambahnya, banyaknya korban jiwa yang berjatuhan saat bencana bukan semata-mata dikarenakan kekuatan dari bencana itu melainkan karena keabaian. Karena ketidaksiapan dalam menghadapi bencana, masyarakat cenderung panik dan ujungnya malah menjadi korban dalam peristiwa bencana.

Baca juga:  Semester I 2018, Seratusan Bencana Terjadi di Gianyar

Ia juga mendorong adanya sosialisasi terkait penelitian-penelitian tentang potensi bencana yang ada di Indonesia sehingga masyarakat bisa teredukasi dan siap siaga dalam menghadapi bencana. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *