Ilustrasi. (BP/dok)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Sekitar 700 kepala keluarga (KK) warga Desa Lokapaksa, Kecamatan Seririt kesulitan mendapat air bersih. Ini terjadi karena tofografi wilayah di perbukitan dan sumber mata air tergolong minim.

Atas kondisi ini, sejak lama warga di desa ini harus membeli air ke pusat desa. Rata-rata harga satu jeriken air isi 30 liter antara Rp 3.000 sampai Rp 5.000.

Data dikumpulkan di lapangan Senin (18/6), ratusan KK yang kesulitan air air bersih itu tempat tingalnya menyebar di beberapa dusun. Kondisi paling parah dialami oleh warga Dusun Kembang Sari. Sedangkan di Dusun Pamesan, Banjar Tengah, Jero Agung, Labak Timbul, dan Dusun Bukti Sari warga yang mengalami kesulitan air bersih adalah yang rumahnya di perbukitan.

Jika bersamaan dengan musim hujan, warga masih bisa memanfaatkan air untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK). Sementara untuk memasak dan konsumsi air minum, warga membeli air. Kebutuhan air bersih pun meningkat ketika memasuki musim kering seperti sekarang. Karena warga tidak lagi menampung air hujan, sehingga biaya untuk membeli air naik dibandingkan saat musim hujan.

Baca juga:  Sejumlah Negara Alami Lonjakan Kasus COVID-19, Penanganan Wisman Masuk Bali Perlu "Filter" Ketat

Perbekel Desa Lokapaksa, Kecamatan Seririt I Wayan Ariadi mengakui jika sekitar 60 persen dari jumlah penduduk di desanya sampai sekarang kesulitan air bersih. Ariadi mengatakan, krisis air bersih ini bukan masalah baru, tetapi persoalan ini terjadi sejak lama dan belum ada solusi untuk mengatasi.

Sejak 2016, pemerintah desa memanfaatkan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk membangun sastu unit sumur bor dan bak resevoar (penampungan). Bak penampungan air minum ini dibangun dengan diameter delapan meter dan tinggi 2,5 meter. Lokasi sumur bor ini di pinggiran Sungai Pancoran dengan kedalaman 56 meter.

Baca juga:  Masih Diupayakan, Pencairan Insentif Bendesa Hingga Sulinggih Gianyar

Setelah pembangunannya rampung dan air berhasil ditampung, diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan air bersih untuk ratusan KK warga yang tinggal di daerah perbukitan. “Saya menjabat tahun 2015 dan mulai tahun 2016 lalu desa bangun sumur dan bak penampungan. Dari sumur sampai lokasi bak penampungan ketinggiannya mencapai 150 meter, sehingga kami menggunakan pompa yang mampu menyedot air sekitar lima meter kubik per jam,” katanya.

Menurut Ariadi, ADD yang diserap untuk penanganan krisis air bersih sebesar Rp 160 juta. Rinciannya, pembelian dua unit pompa air, jaringan listrik PLN, dan biaya pemeliharaan. Dana yang terbatas itu membuat pemerintah desa belum bisa memberiksan subsidi untuk sambungan pipa ke rumah warga.

Selain itu, dana untuk listrik PLN pun tidak mencukupi dari anggaran yang disisakan di awal, sehingga desa sekarang menunggu penyusunan perubahan APBDes. Menunggu penambahan jaringan pipa, warga disarankan membentuk kelompok dan menyiapkan sendiri biaya untuk pemasangan jaringan pipa ke rumah penduduk. “Pengoperasiannya belum seratus persen dan target tahun ini berperasi penuh dan tahun berikutnya kami optimalkan lagi, dan pengelolaannya nanti kami akan menggunakan layanan air minum yang dilakukan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Buleleng,” jelasnya.

Baca juga:  Pendekatan Budaya dalam Memproteksi Kawasan Hulu

Sementara itu, Camat Seririt Nyoman Riang Pustaka mengatakan, penanganan krisis air bersih dengan membangun sumur bor dan bak penampungan oleh desa sudah memberikan hasil positif. Hanya saja, anggaran belum cukup, sehingga masalah ini harus ditangani dengan bertahap. “Mudah-mudahan Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida segera bisa mengalirkan air baku Bendungan Tita-Ularan, sehingga krisis air bersih bisa ditanggulangi dengan jaringan air baku tersebut,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *