Syarifudin Hasan. (BP/ist)

JAKARTA, BALIPOST.com – Nyanyian terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP) Setya Novanto di persidangan yang menyebut Puan Maharani dan Pramono Anung masing-masing menerima 500 ribu dolar Amerika Serikat (AS) makin menambah deretan elit PDIP yang dituduh menerima uang proyek tersebut. Namun, Ketua DPP Bidang Hukum dan HAM PDIP Trimedya Panjaitan menyebut kesaksian Setya Novanto lebih pada sensasi politik untuk tujuan memperoleh keringanan hukuman.

Trimedya mengategorikan kesaksian Novanto sebagai ‘testimonium de auditu’. “Apa yang disampaikan Setya Novanto menurut KUHAP, masuk kategori testimonium de auditu. Kami paham Novanto dalam situasi tertekan dan berupaya menjadi ‘justice collaborator’, tampilan psikologis orang seperti ini adalah mencoba menampilkan dirinya bukan designer,” kata Trimedya Panjaitan di Jakarta, Jumat (23/3).

Baca juga:  Puluhan Motor Disita, Ini Kata Kapolres

Dengan demikian, Trimedya menilai sesungguhnya desainer dan aktor intelektual atas korupsi KTP elektronik tersebut berasal dari lingkaran pertama kekuasaan yang memerintah saat usulan, perencanaan dan pembahasan proyek e-KTP dibuat. “PDI Perjuangan sejak awal melihat bahwa proyek KTP elektronik dibuat dengan motif kekuasaan untuk memenangkan Pemilu 2014. Hal tersebut juga pernah disinggung Nazaruddin namun tanpa disangka muncul Jokowi yang mendapatkan dukungan kuat dari rakyat,” katanya.

Ia mengatakan PDI Perjuangan setelah mencermati seluruh pernyataan Made Oka Masagung di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) maupun di persidangan, yang bersangkutan tidak pernah sekalipun menyebutkan nama sebagaimana disampaikan Setya Novanto. Wakil Ketua Komisi III DPR ini juga mengatakan bahwa pokok materi persidangan harus melihat BAP dan keterangan para saksi di pengadilan, misalnya dalam BAP Nazaruddin pada 22 Oktober sangat tegas bahwa asal mulai kebijakan tersebut adalah dari dua menteri KIB berinisial GM dan SS.

Baca juga:  PDIP Dorong Pengembangan Kawasan Industri Berbasis Maritim

Sebelumnya, Sekjen DPP PDIP Hasto juga menegaskan sebenarnya untuk menunjuk siapa yang bertanggungjawab dalam kasus korupsi proyek e-KTP bisa dimulai dari siapa yang memegang kekuasaan pemerintahan saat itu. Termasuk Mendagri saat Itu, Gamawan Fauzi yang menurut Hasto harus memberikan jawaban secara gamblang terkait akar persoalan korupsi e-KTP.

Tudingan elit PDIP ini, rupanya menyulut reaksi elit Partai Demokrat selaku partai yang berkuasa saat itu. Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Syarief Hasan mengingatkan tudingan dari elit PDIP ini dapat menganggu komunikasi politik yang hendak dibangun kedua belah partai. “Ya kalau dibilang mengganggu, ya sangat mengganggu,” kata Syarief Hasan.

Baca juga:  MKD DPR Tetap Proses Pelanggaran Novanto

Syarief mengingatkan alangkah lebih baik kalau nama-nama yang disebut sebagai penerima uang e-KTP, diusut secara tuntas. Bukannya saling menyalahkan. “Kita kan harus saling menghargai. Koalisi itu harus saling menghargai. Jadi seharusnya kalau memang disebut-sebut namanya, ya diusut saja tuntas. Kalau terbukti diproses hukum. Kalau tidak terbukti ya direhablititasi namanya. Kan begitu,” kata Syarief.

Syarief menyesalkan pernyataan Hasto maupun Trimedya yang cenderung menyudutkan Partai Demokrat yang ketika itu sebagai partai berkuasa. Ia mempertanyakan, kesaksian Setya Novanto yang justru dijadikan alat bagi PDIP untuk menyerang SBY dan Partai Demokrat. (Hardianto/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *